Wednesday, November 25, 2009

Syahadah (Mati Syahid) dan Tadhiyah (Berkorban) dalam Menghadapi Kerusakan dan Zionisme


Risalah DR. Muhammad Mahdi Akif
_________________________
Mursyid Am Ikhwanul Muslimin

Segala puji hanya milik Allah.. kita mohon Ampun kepada-Nya, dan memohon petunjuk dari-Nya, dan kita berlindung kepada-Nya dari segala kejahatan dan kekerdilan jiwa-jiwa kita dan keburukan perbuatan-perbuatan kita… barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka selamanya tidak akan tersesat dan barangsiapa yang disesatkan maka tidak ada petunjuk baginya.. kita sampaikan salawat dan salam kepada pemimpin kita Muahmmad saw, nabi yang membawa petunjuk dan terpecaya, beserta keluarga dan seluruh sahabatnya … selanjutnya..

Bahwa setiap orang yang memiliki kesadaran akan selalu memperhatikan kondisi lingkungan sekitar dan keadaan dunia secara seksama, sehingga dirinya mendapati berbagai fenomena ibtila (ujian) yang mengepung umat ini.. terkepung antara dijajah oleh sang perampas yang selalu mengambil kekayaan alamnya dan melanggar kehormatan serta membunuh anak-anak, dan diantara penguasa zhalim dan lalim, yang menguasai berbagai kekayaan dan potensi yang dimiliki umat guna melanggengkan singgasananya, sekalipun harus menggbunakan aparat keamanan dan mengabaikan stabilitas Negara, atau harus mengorbankan kehormatan rakyatnya dan bahkan kehidupan mereka dalam berbagai sisinya…

Hal ini Tidak jauh dari yang dialami oleh Pakistan, Afghanistan, Iraq, Palestina, Lebanon dan Mesir serta negeri lainnya yang merasakan ujian dan mendapatkan sesuatu yang diada-adakan oleh musuh dan bahkan oleh anak negeri sendiri, sebagai salah satu gambaran akan banyak ragam model yang digunakan di dalamnya..

Di Afghanistan, Iraq dan Palestina sedang mengalami penjajahan dan perampasan… yang sebenarnya juga merupakan jenis penjajahan yang dibentuk oleh adanya persekutuan syaitan antara Amerika dan zionis, dan dibelakangnya ada Barat yang tidak pernah lepas dari 3 hal; apakah ikut berkonspirasi dan menjadi pendukung proyek penjajahan, atau bermain bak pemeran seorang pengacara, atau dia sendiri syaitannya namun sebagai syaitan bisu!

Adapun pada sebagian Negara Arab dan Islam tidak jauh berbeda mengalami itu kecuali yang mendapat curahan rahmat dari Tuhannya; karena yang memusuhi dan memerangi adalah bagian lain dari pelaku… ia adalah pemerintah dan penguasa yang rusak dan keji…sehingga umat ini telah menjadi kelompok yang tercerai berai, dimulai dari negeri kita sendiri (Mesir) yang mengalami dan merasakan kezhaliman dan permusuhan terhadap rakyatnya… serta beberapa lembaga internasional yang rusak, merampas kekayaan alamnya untuk diberikan kepada sekelompok kecil dari pemiliknya, hingga pada rezim yang selalu melakukan penyerangan dengan menggunakan bom melalui pesawat perang, melindas tubuh mereka dengan mobil tank, mengusir seperti yang dilakukan oleh para penjajah dan bahkan dalam bentuk yang lebih banyak dan besar kekejian dan kenistaan pada era yang menjunjung tingga hak asasi manusia!!.

Ikhwan sekalian…

Selamanya tidak mungkin kita bisa memisahkan antara dua sisi mata uang, seperti halnya juga kezjlia karena kezhaliman bukan satu bagian dan bahaya adalah bagian lainnya; namun karena keduanya telah menjadi bagian dari persekutuan yang tidak baik (suci) antara pemerintah yang zhalim dan penjajahan yang tiran; karena kaduanya telah membuat agenda yang rinci dengan apa yang dapat dilakukan sebagai kerja sama yang jahat antara kedua belah pihak; pihak Zionis Amerika atau pihak pemerintah yang zhalim dan korup yang dilakukan oleh sebagian anak bangsa…

Karena itulah, ini menjadikan para generasi yang ikhlas dan menjaga jati diri serta sederhana sebagai target dari berbagai arah; diskriminasi, penangkapan dan penghentian sumber rezki, dan bahkan dengan cara pembunuhan seperti yang terjadi di lembah Afghanistan, Pakistan dan Yaman, baik yang dilakukan oleh pasukan bersenjata penjajah yang keji atau pasukan bersenjata Negara tersebut yang seharusnya memberikan pertahanan dan penjagaan terhadap negeri dan anak bangsanya!! Dan kekuatan barat telah berubah menjadi kekuatan yang mampu menundukkan umat Islam hingga pada target yang satu, antara kekuatan arogansi internasional dan kekuatan korup dan kezhaliman pemerintah internal.!!

Kejadian yang memilukan!!

Terjadi peristiwa yang memilukan yang tidak hanya membuat sedih dan miris hati saja terhadap apa yang terjadi pada umat yang pada suatu masa telah menjadi yang besar dan sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, bahkan telah membuat hati menjadi marah… marah terhadap apa yang terjadi akan berbagai tindakan kriminal dan kejahatan terhadap hak bangsa dan kekayaannya, dan dari keras kepalanya sebagian anak bangsa yang tetap ngotot melanjutkan politik yang tidak memberikan implikasi yang baik kecuali nestapa dan musibah…kita bisa ambil contoh apa yang terjadi di bumi Palestina…sangatlah aneh dan menakjubkan sekali bahwa sebagian umat –pemimpin dan rakyat- percaya bahwa entitas zionis dan Amerika memiliki kesungguhan dan itikad baik terhadap apa yang mereka dengungkan seperti proyek yang mereka namakan dengan “Proses perdamaian di Timur Tengah”!!

Dan bahkan yang lebih membuat terkejut, marah dan pautu diingkari adalah masih saja dari warga Arab dan umat Islam yang percaya dan bahkan sebagian lainnya terus menyampaikan dan menyebarkan isu disetiap harinya secara gamblang “sikap tidak ada keraguan akan niat yang sebenarnya dari Amerika dan zionis terhadap hak-hak kita dan negeri Palestina yang terjajah.

Bahwa pemerintah Amerika saat ini sedang membangun politik atas dasar memberi komentar dan janji saja terhadap Palestina yang rela memilih adanya perundingan dengan musuh, sehingga memberikan peluang kepada entitas zionis merampas bumi Palestina melakukan dengan bebas dan leluasa dan melakukan segala yang diinginkan, baik politik, dukungan, manipulasi dan kecurangan di negeri yang disucikan di seluruh dunia.

Akhir dari sikap dan politik ini adalah seperti yang diumumkan oleh menteri luar negari Amerika, Hillary Clinton dalam kunjungan terakirnya di lokasi (bumi Palestina); yang mana beliau hanyak mengulang dari kebijakan yang lalu dengan menegaskan bahwa pemerintah Amerika terkait dengan permasalahan pemukiman di Tepi Barat yang terjajah, dan bersikap dengan garang mengumumkan tidak ada syarat dan alasan untuk membekukan pemukiman di Tepi Barat yang terjajah, dan apa yang dibuat sendiri dengan sebutan “Perundingan Perdamaian”.

Bahwa tingkat keburukan dan kekotoran menteri luar negeri Amerikan telah mencapai puncaknyapada saat mengumumkan akan dukungannya yang penuh terhadap sikap perdana menteri entitas yang jahat dan keji serta teroris Benyamin Netanyahu; dengan mengatakan bahwa dirinya memiliki hak dari sisi sejarah terhadap sikapnya yang menolak untuk membekukan pelaksanaan perundingan dengan pemerintah Palestian dengan syarat dihentikannya pembangunan dan perluasan penjajahan di Tepi Barat!!

Dan bukan hal yang aneh jika seseorang mengatakan bahwa permasalahan Palestina menjadi saksi nyata akan adanya kemunduran yang pesat sejak Barrack Obama memangku jabatan presiden Amerika, secara angka dan realita apa yang terjadi di bumi Palestina seakan mengatakan bahwa masa pemerintahan Amerika saat ini yang baru berjalan beberapa bulan saja memberikan implikasi yang sangat buruk terhadap warga Palestina; yaitu adanya proses pengusiran besar-besaran dalam sejarah Al-Quds yang terjajah bagi warga Palestina dari rumah-rumah mereka, diiringi dengan kemunduran yang sempurna dalam sikap sampai pada hanya memberikan janji-janji kosong di lokasi tersebut dengan Negara Palestina.

Namun kondisi yang memilukan ini terdapat sisi yang cerah dari permasalahan, seakan sebagai salah satu dari sunnah Allah dan undang-undang Ilahi di muka bumi ini; pada saat terjadi secara nyata bahwa barang gadaian yang dijadikan jaminan oleh sebagian orang kepada Amerika menemui kegagalan, bahwa hal tersebut jika dari sisi Palestina atau yang lainnya terus berlangsung pada metode ini –perundingan yang mandul-, tidak akan terjadi kecuali akan menyingkap realita yang sebenarnya, apakah sebagai korban, pengekor atau diktator yagn kejam yang tidak menginginkan sesuatu kecuali terwujudnya kepentingan pribadi daripada kepentingan bangsa dan permasalahan yang mulia ini.

Sejarah perjalanan menggapai syahadah dan tadhiyah

Wahai umat Islam…

Jika kita lihat kembali arah sisi pandang secara menyeluruh, maka dalam kondisi seperti ini kita akan mendapatkan diri kita dituntut untuk menentukan sikap prioritas… prioritas ini telah dijelaskan dalam berbagai perkembangan yang menetapkan bahwa pasukan perlawanan akan terus berjuang hingga mendapatkan kemenangan atau syahadah di jalan memegang prinsip, agama dan nilai-nilai luhur, yang hingga saat ini menjadi pilihan yang bersih bahkan menjadi satu-satunya pilihan yang nyata dan real serta diterima untuk dilaksanakan dalam menghadapi apa yang terjadi.

Dan apa yang kami sampaikan disini wahai Ikhwan bukanlah hal yang baru dan dibuat-buat; namun umat ini telah menetapkan sepanjang sejarahnya menampakkan kemampuannya untuk berkorban dan menebus dengan jiwa di jalan Allah demi tegaknya agama dan nilai-nilai luhur yang diimaninya… menegaskan bahwa hal tersebut sangat banyak terjadi akan kemampuannya untuk meraih kebebasan dan kemerdekaannya…melakukan perlawanan menghadapi berbagai model penjajahan dan penindasan, sekalipun harus melakukan pengorbanan dan menghadapi berbagai rintangan.

Karena itu dari hulu sungai nil yang besar, Kafr Ad-dawar dan Al-Azhar Syarif merupakan lintasan sejarah hingga mencapai pada para pemilik keteguhan di Palestina dan penjaga kesucian baitul maqdis, melintasi Al-Jazair dengan revolusi kemerdekaannya yang penuh berkah, yang mampu menghadirkan lebih dari satu juta warga yang syahid, Iraq dengan revolusinya yang banyak dan berakhir dengan adanya penjajahan dan penindasan, begitu pula dengan perjuangan rakyat dan bangsa Mesir yang mampu memaksa pasukan Inggris untuk pergi dan hengkang sehingga mendapatkan apa yang kita dakwahkan kepadanya dan berusaha kita teguhkan; hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru atau suatu kewajiban temporer belaka, namun sesungguhnya ia merupakan bagian dari akidah bagi setiap insan muslim, dan merupakan fitrah yang diciptakan oleh Allah atasnya, karena diantara ciri insan beriman adalah tidak ridha dengan kehinaan..

Allah berfirman:

وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمْ الأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kalian merasa hina dan merasa sedih, karena kalian adalah lebih mulia jika kalian beriman”. (Ali Imran:139)

Dan diantara ciri insan muslim adalah membangun hidup yang penuh dengan izzah (kemuliaan) dan memiliki harga diri, jika tidak maka mati lebih baik, lebih mulia dan lebih berharga daripada hidup penuh dengan kehinaan dibawah api penjajahan atau berada diantara kotornya penindasan dan kerusakan, sebagaimana insan muslim yang benar adalah yang tidak rela terhadap berbagai tindak kezhaliman dan selalu mengajak pada keadilan dan hidup merdeka..

Bahkan Allah SWT menjadikan nilai kebebasan dan kemerdekaan bagian fitrah manusia itu sendiri. Allah berfirman:

أَفَمَنْ يَمْشِي مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمَّنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Maka Apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (Al-Mulk:22)

Dan Allah berfirman dalam surat An-Nahl:

وَضَرَبَ اللهُ مَثَلاً رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهُّ لا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan Dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja Dia disuruh oleh penanggungnya itu, Dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan Dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (An-Nahl:76)

Dan sepanjang sejarah manusia bukan saja sejarah Arab Islam disebutkan bahwa para pejuang dan mujahidin di jalan agama, Negara dan nilai-nilai luhur mereka; mereka selalu dikenang dan diingat oleh bangsa, dan banyak lembaran-lembaran catatan dan nama-nama jalan dan kota menjadi saksi.

Bahwa kemerdekaan dan kehormatan kita tidak akan dapat diraih kecuali dengan melakukan perjuangan yang hakiki, memiliki harga yang besar pada setiap melintasi jalan menuju perbaikan dari berbagai kekuatan; baik dengan waktunya, tenaganya dan kebebasannya… dan tentu tidak akan tercapai pula perjuangan kemerdekaan melawan penjajah dan melawan pemerintah yang rusak dan penindas dengan menggunakan seluruh sarana negara.

Maka hendaklah seluruh umat menyadari bahwa ruh jadid harus terus berjalan dan bergelora di dalam jiwa

Untuk menanamkan cita dan harapan di bumi yang sedang berusaha membebaskan diri dari penjajahan dan penindasan dan membebaskan mereka dari putus asa.

Dan untuk memaparkan syariat al-izzah dalam menghadapi kehancuran dan kehinaan yang mengepung umat akibat pengaruh cerai berai, perpecahan dan pencurian…

Dan mampu untuk melakukan persiapan…Untuk menghadapi musuh penjajah dengan berbagai sarana sehingga mampu membuat gentar, menolak dan menahan dengan berbagai senjata pembebas yang dimiliki para pejuang…

Dan pada saatnya sang penindas dan pelaku kerusakan memiliki sarana untuk menolak dari tipu dayanya, Allah akan menghisabnya oleh karena kelalaiannya, mengingatkan akan usahanya yang telah memenjara warganya.

Dan persiapan kita dalam hal ini bukanlah suatu pembangkangan, bukan tindak kriminal dan permusuhan; karena kemerdekaan suatu Negara dari penjajahan dan penindasan dengan berbagai fenomenanya; tidak dapat tercapai kecuali dengan melakukan perjuangan yang dipandang oleh Ikhwanul Muslimin sebagai satu-satunya jalan untuk melakukan perbaikan dari berbagai penyimpangan yang terjadi, memompa seluruh potensi yang terkubur karena cuek, dan usahanya untuk mewujudkan cita-cita umat, dan tentu tidak akan celaka orang yang berjalan melakukan perjuagan sekalipun dengan susah payah karena setiap suatu kelahiran pasti ada rasa sakit namun dengan itu akan menghilangkan segala penyakit umat.

Karena itu, manakah yang lebih mulia menggapai syahadah dengan melakukan perlawanan terhadap penjajah atau kita diuji dari berbagai tindak kejahatan, kerusakan dan penindasan sementara kita berusaha menghilangkan dari tubuh umat dan bangsa, dengan mengamalkan firman Allah:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ آوَوا وَنَصَرُوا أُوْلَئِكَ هُمْ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia”. (Al-Anfal:72)

Ya Allah berikanlah kepada umat ini kemuliaan yang memberikan petunjuk, sehingga didalamnya ada rasa bangga bagi mereka yang menginginkan kemerdekaan, kemuliaan, kebaikan, perjuangan, kesungguhan dan menghinakan di dalamnya bagi setiap orang yang melakukan penjajahan, penindasan, kerusakan, kejahatan, pencurian dan kezhaliman.

Dan akhir dari doa kami adalah bahwa segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam…

Dan shalawat dan salam atas nabi kita Muhammad saw beserta keluarga dan para sahabatnya.

Baca Selengkapnya...

Sunday, November 22, 2009

As Syakhshiyah Al Jundiyah (Kepribadian Kader Dakwah)

Hidup merupakan perjuangan, berjuang untuk menunaikan tugas dakwah yang mulia. Tugas yang tak pernah usai seiring perjalanan waktu. Malah semakin bergulirnya waktu semakin bermunculan tugas baru. Sebagaimana komentar seorang pujangga, ‘terbitnya fajar, merekahkan harapan cerah dan membawa sekelumit beban’. Akan tetapi bagi seorang aktivis dakwah waktu menjadi jalannya kehidupan. Sehingga kader dakwah selalu menata waktunya demi kehidupan yang ia jalani agar senantiasa siap menyongsong tugas yang ada dihadapannya.

Bukanlah sesuatu yang dipungkiri bahwa tugas dakwah memang bukanlah tugas yang ringan. Ia banyak liku dan kendala yang rumit. Baik dari pihak eksternal ataupun dari internal sendiri. Terkadang tugas dakwah menjadi beban berat untuk dipikul. Terlebih lagi bagi mereka yang berkepribadian rentan dan rapuh. Tugas itu menjadi tembok besar yang teramat sulit untuk dilewati. Mereka akan berkecil hati menatap tugas demi tugas. Terasa berat untuk menggerakan kaki dan tangan menerima tugas tersebut.

Namun tidak demikian bagi kader pilihan. Mereka akan berupaya maksimal untuk dapat menunaikan tugas mulia itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan kader yang berkepribadian amal da’awy akan menyongsongnya dengan gembira. Tidak ada dalam diri mereka, kamus lelah dan ciut menyambut tugas. Karena tugas itu akan menjadi momen untuk mengukir sejarah hidupnya dengan tinta emas bagi kemenangan dakwah ini. Ia menjadi mulia bersama dakwah atau mati dengan keharuman sikap perilakunya dalam amal Islam.

Ketika Syaikh Mutawalli Sya’rawi menyampaikan pidatonya dalam suatu acara, bahwa amanah umat ini teramat berat. Karena kompleksitas masalah yang dihadapinya. Dan disertai penghalangnya dari musuh-musuh umat yang tidak pernah henti untuk menghancurkannya. Disamping itu kader dakwah yang memandu amanah ini sulit untuk didapatkan. Maka kepada siapa amanah umat ini diserahkan?. Hasan Al Banna bergumam dalam hatinya ketika mendengar ceramah sang Syaikh, ‘aku ingin, akulah orangnya yang akan mengemban amanah itu. Beginilah sikap kader dakwah yang brilian dalam menyambut tugasnya.

Menyikapi kenyataan ini bahwa tugas dakwah dan kepribadian kader merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dimana keduanya saling mempengaruhi. Maka perlu disadari pada seluruh kader untuk membangun dirinya agar menjadi kader-kader pilihan yang sanggup memikul tugas dakwah ini dengan hati lapang. Sehingga tugas demi tugas dapat tertunaikan dengan baik. Bila kader dakwah tidak lengah dalam masalah ini dan selalu berusaha untuk meningkatkan kepribadian dirinya dalam mengemban amanah ini maka ia dapat menaklukan dunia sebagaimana obsesi Imam Hasan Al Banna Rahimahullah. Sang Imam pernah mengungkapkan obsesinya dalam Risalahnya Kepada Pemuda, bahwa ia bisa menaklukan dunia dengan kader-kader pilihan dibawah binaannya. ‘Siapkan 12 ribu kader, aku akan bina mereka dan aku akan taklukan dunia dengan bersama mereka’.

Melalui pemahaman ini upaya untuk meningkatkan kepribadian diri dalam mengemban tugas dakwah ini menjadi perilaku harian bagi kader dakwah.

Tidak boleh ada kesempatan yang terbuang dan tidak terpakai untuk agenda ini. Agar kepribadiannya tidak melempem, tidak pula mendua tetapi kepribadian yang tangguh dan ulet dalam amal dakwah. Selayaknya setiap kader menata dirinya dengan sungguh-sungguh agar dapat merealisasikan obsesi sang Imam. Untuk itu para kader dakwah perlu menyiapkan diri agar memiliki kepribadian yang dapat menuntaskan tugas dakwah dan merealisaikannya:

1. Bina ruhil ghirah (Membangun Ruh Keghairahan)

Menyadari banyaknya tugas dakwah yang perlu diemban, kader dakwah harus membangun keghairahannya. Keghairahan untuk terus berbuat dan berjuang demi tegaknya dakwah. Sehingga semangatnya berkobar-kobar. Tidak pernah lemah sedikitpun dalam menghadapi rintangan. Tidak pernah layu dengan bergulirnya zaman. Tidak pernah gentar karena tantangan. Ia bagaikan batu karang di tengah lautan yang kokoh menghadapi terjangan ombak.

Abul ‘Ala Al Maududi mengingatkan kader-kadernya, ‘bila kalian menyambut tugas dakwah ini tidak sebagaimana sikap kalian terhadap tugas yang menyangkut urusan pribadi kalian maka dakwah ini akan mengalami kekalahan yang telak. Oleh karena itu sambutlah tugas ini dengan ghairah. Amatlah tepat taujih Abul ‘Ala Al Maududi ini bila melihat sederetan tugas dan harapan umat. Bila saja kader dakwah memahami dengan betul maka mereka akan berupaya untuk menjaga keghairahannya agar tidak pernah redup sedikitpun. Karena ia akan berakibat fatal dalam menunaikan tugas ini.

Sebaliknya jiwa yang berghairah dalam menyambut tugas-tugasnya akan mudah untuk menyelesaikannya. Ia bahkan dapat menemukan celah-celah sempit untuk menjadi peluang besar yang akan menjadi menyebab kemenangan dakwah ini. Ia tidak pernah mundur tatkala bahaya menghadang. Ia tidak lelah ketika peluh bercucuran. Yang ada dalam benaknya adalah kami siap mengembannya untuk sebuah kemenangan.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim”.. (Ali Imran: 139 – 140).

Karena itu sepantasnya bagi kader untuk selalu berusaha meningkatkan ghairahnya melalui amalan-amalan yang disunnahkan Rasulullah SAW. sehingga ghairahnya tidak kendur. Apakah dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, mengkaji sejarah kepahlawanan Islam, membayangkan pahala dan balasan yang dijanjikan Allah SWT., bercermin dari kehidupan kader-kader daerah terpencil yang sangat bersemangat untuk menyebarluaskan dakwah ini ataupun dengan kiat-kiat lainnya. Amalan tersebut menjadi bahan bakar untuk semangatnya agar selalu bergelora.

Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid mengingatkan “gelorakan semangatmu wahai ikhwah dan jangan kendur sedikitpun marilah maju bersama kafilah dakwah ini. Siapa yang tidak lagi bersemangat maka janganlah ikut barisan kami”.

2. Tasyji’u ruhil mubadarah (Membangkitkan semangat inisiatif

Memahami tugas dakwah yang rumit maka setiap kader hendaknya selalu membangkitkan semangat berinisiatif. Agar dapat mensikapi dengan cepat apa yang sedang dihadapi dakwah ini. Tentu dengan mengacu pada kententuan syar’i. Sehingga aktivis dakwah tidak linglung dan bingung untuk segera berbuat atas sesuatu yang perlu segera disikapi. Selayaknya seorang kader tidak pernah mati inisiatifnya. Ia selalu berinisiatif untuk membela dakwah dengan berbagai potensi yang ada pada dirinya.

Seorang pujangga mengingatkan bahwa matinya inisiatif akan menutup banyak peluang. Malah ia melihat apa yang dihadapannya menjadi momok yang menakutkan. Ia akan menjadi orang yang penakut pada sesuatu yang belum terjadi bahkan ia sudah membayangkan dengan bayang-bayang hitam yang sangat mengerikan. Umat dan dakwah ini akan gembira terhadap kader yang kaya inisiatif. Sebagaimana gembiranya orang tua pada anaknya yang berinisiatif tinggi. Sang anak menyemirkan sepatu ayahnya ketika sang ayah hendak berangkat kerja. Ia suguhkan air minum hangat untuk ayahnya yang baru tiba. Ia rapikan belanjaan ibunya ketika datang dari pasar. Ia bersihkan alat-alat masaknya dan lain sebagainya. Orang tua akan sangat senang dengan perilaku anaknya dan ia akan banggakan dihadapan saudara dan tetangganya.
Syaikh Sayid Muhammad Nuh menceritakan murabbinya Syaikh Abbas Asisi yang selalu kaya inisiatif dalam berdakwah. Beliau bukan hanya kaya akan ide dan gagasan tetapi kaya pula dengan sikap dan perbuatannya. Hingga banyak orang yang tertautkan hatinya pada dakwah karena inisiatifnya yang teramat tinggi. Ada pemuda yang tertarik pada dakwah karena ia menyebut namanya yang telah ia hafal. Ada pula orang yang berjiwa kasar menjadi pengikut dakwah lantaran ia buka dengan dialog-dialog yang menarik. Dan masih banyak lagi kisah lainnya.

Kader yang berinisiatif tidak hanya semata mengandalkan point-point buku manual melainkan ia juga dapat melakukan sesuatu dengan tepat dan benar sesuai masanya yang sedang dihadapinya. Inisiatif memang tidak lahir begitu saja. Ia selalu beriringan dengan kebiasaannya untuk berbuat. Kebiasaan berbuat dapat menerobos celah sekecil apapun untuk menemukan hal-hal baru. Oleh karena itu Allah SWT. merintahkan orang-orang beriman untuk senantiasa berbuat.

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.(At Taubah: 105).

3. Bina ruhil mas’uliyah (Membangun jiwa tanggung jawab terhadap dakwah)

Tanggung jawab kader terhadap dakwah tidak boleh berkurang. Kader hendaknya selalu membangun rasa tanggung jawabnya setiap saat.

Berkurangnya tanggung jawab kader pada dakwah ini dapat memporak-porandakan amanah umat ini. Kader yang bertanggung jawab pada tugas tidak bisa bersantai-santai/beruncang kaki sementara kader lainnya sedang sibuk menunaikan tugas.

Jiwa tanggung jawab ini sangat dikaitkan dengan keimanan yang melekat padanya. Juga dikaitkan dengan kesertaannya menjadi umat Muhammad SAW. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,

“Bukanlah golongan kami orang yang tidak punya perhatian terhadap urusan kaum muslimin”. (Bukhari).

Sangatlah logis bila tanggung jawab terhadap dakwah ini berhubungan erat dengan kesertaannya sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Karena merekalah yang bertanggung jawab langsung terhadap kesinambungan dakwah ini.

Tersebar luas dakwah ini atau tidak ada pada pundak mereka. Mereka yang menjadi pelanjut dakwah ini telah mendekatkan dirinya dengan para Nabi. Lantaran mereka telah melaksanakan hal yang sama dilakukan para Nabi.
Kader dakwah yang bertanggung jawab pada tugas kadang tidak bisa tidur nyenyak. Ia senantiasa berpikir keras untuk untuk kemajuan dakwah. Ia merasa malu bila tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa sedih bila dakwah tidak berkembang. Ia sangat senang kalau dakwah ini menggeliat dan meraih banyak pengikut. Ia risih bila meninggalkan tugas yang masih berceceran di sana-sini. Dan ia akan senantiasa siap menyongsong tugasnya. Wajarlah bila Imam Hasan Al Banna memandang sikap kader yang tidak bertanggung jawab pada tugasnya sebagai perbuatan dosa.

Oleh karena itu kader dakwah dalam menyongsong tugas mulianya seperti pengikut Nabi Isa AS. yang setia. Merekalah kaum Hawariyun sangat peka pada tanggung jawab dan tugasnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri”. (Ali Imran: 52).

4. Tarqiyatu ruhil badzli wat tadhhiyah (Membangkitkan semangat pengorbanan)

Pengorbanan dan perjuangan sesuatu yang niscaya. Perjuangan tidak dapat dipisahkan dengan pengorbanan. Dakwah suci ini bergerak dengan deras karena pengorbanan para kadernya. Maka semangat pengorbanan harus terus hidup di hati kader dakwah agar menjadi kepribadian mereka yang sesungguhnya. Sehingga mereka akan selalu terdepan dalam pemgorbanan.

Karenanya tidak ada dalam sejarah sebuah perjuangan ideologi yang dibangun tanpa perjuangan. Maka sudah menjadi suatu keharusan untuk berkorban dengan apa yang ada padanya demi tegaknya dakwah mulia ini.

Kader-kader yang siap berkorban menjadi syarat mutlak untuk suatu kemenangan. Dengan jiwa ini jalan mencapainya menjadi mulus. Perjalanan meraih kemenangan bak tanpa hambatan. Adalah hal patut bagi seluruh kader dakwah memberikan sesuatu yang amat diperlukan dakwah ini. Ini menjadi tanda keringanan dirinya untuk berkorban. Dalam berkorban untuk dakwah tidak pernah terbetik untuk menolaknya. Bahkan sedapat mungkin memberikan apa yang sangat berharga dalam dirinya. Jiwa dan raga.

Semangat semacam inilah yang melancarkan futuhat dakwah di berbagai negeri. Termasuk ketika menaklukan Romawi. Khalid bin Walid RA. ditanya pembesar Romawi perihal kepahlawanan kaum muslimin sehingga mereka bisa menaklukkan Romawi. Panglima Khalid RA. menjawab, ‘Kami dapat berada di depan mata kalian dan menaklukkan negeri kalian karena kami datang bersama orang-orang yang cinta mati sebagaimana kalian mencintai hidup’. Tentunya pengorbanan semacam ini pengorbanan yang maksimal. Memang Allah SWT. hanya menerima pengorbanan hamba-Nya yang maksimal. Seperti dalam Firman-Nya.

“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Kabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Kabil). Ia berkata (Kabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (Al-Maidah: 27).

Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid mengingatkan bahwa dalam perjalanan dakwah ini janganlah bersikap seperti umat Nabi Musa yang duduk-duduk berdiam diri saja menunggu datangnya kemenangan dari perjuangan Nabinya. Akan tetapi berbuat banyaklah untuk jalan dakwah ini dengan senantiasa selalu berkorban dan tidak pernah kendur semangatnya untuk berkorban. Memang semestinya demikian.

Tentu saja semangat berkorban ini tidak akan kendur manakala sikap kepatuhan kader pada ajaran ini tidak berkurang secuilpun. Mereka mematuhi ketentuan yang sudah seharusnya dijalankan. Mereka mengokohkan ruh maknawiyahnya setiap saat. Mereka berada dalam stamina spiritual yang prima. Said Hawwa menegaskan bahwa pengorbanan merupakan kepatuhan dan kepatuhan adalah syarat kemenangan. Maka siapkanlah sarana-sarana kemenangan dengan meningkatkan semangat berkorban terus menerus agar kemenenagan menjadi kenyataan yang dekat.

5. Tarqiyatu ath-Thaqah adz-Dzatiyah (Meningkatkan potensi diri)

Untuk dapat melaksanakan tugas mulia ini kader dakwah mesti menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan potensi dirinya. Agar ia bisa memberikan apa saja yang dibutuhkan dakwah ini. Meningkatkan potensi diri berawal dari penggalian potensi dan penajamannya. Adalah kemestian bagi kader untuk dapat mengenali potensinya. Sehingga ia tahu betul kemampuannya selaras dengan keperluan dakwah ini.

Menyadari kedudukan potensi kader bagi kelangsungan dakwah ini amat berarti maka para kader perlu mencermati dan mempertajamnya. Karena apapun potensi yang dimilikinya sangat berguna bagi dakwah ini. Sekalipun seperti butiran pasir. Memang secara fisik sebutir pasir sangat kecil adanya.

Dan bila dibandingkan dengan material lainnya dalam sebuah bangunan terasa begitu amat sangat kecil. Tampaknya ia bukanlah unsur penentu dalam kekokohan bangunan tersebut. Betul adanya asumsi ini bila satu butir pasir saja yang berpandangan demikian. Akan tetapi jika seluruh butiran pasir beranggapan sama maka rubuhlah bangunan tersebut.

Karena itu kader dakwah tidaklah boleh memandang remeh terhadap berbagai potensi yang diberikan kader lainnya. Malah harus menghargai potensi-potensi tersebut dan menyemangati untuk berupaya terus meningkatkannya. Sebab Allah SWT. menyukai orang-orang yang dapat ikut serta dalam barisan dakwah ini dengan potensi yang diberikan-Nya.

“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (Al-Isra’: 84)

Sedapat mungkin setiap waktu yang bergulir potensi kader semakin tajam. Seiring berjalannya waktu potensi kualitas kader semakin membaik. Seperti ungkapan seorang ulama tatkala berjumpa dengan temannya menyatakan ‘tidak aku temukan dalam dirinya setiap berlalunya waktu kecuali semakin membaik kepribadiannya’. Bila kondisi ini menjadi watak dan kepribadian para kader dakwah. Tidak mustahil kemenangan ini amat sangat dekat.

Hayawiyatun Harakiyatun (Kedinamisan Gerak Dakwah)

Adalah suatu kepatutan bagi kader dakwah untuk mengkondisikan kepribadiannya sedemikian rupa. Dengannya gerak dakwah ini akan semakin dinamis. Bahkan akan semakin mulus melenggangkan badannya untuk berkembang dan tersebar luas. Penyebaran dakwah yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan pelosok wilayah. Sehingga kenikmatan dakwah ini dirasakan secara merata. Ini menjadi indikasi kedinamisannya.

Sebagaimana pertumbuhan fisik manusia yang dinamis adalah ketika seluruh organnya berkembang seimbang. Perkembangan tubuh yang imbang untuk dapat menjalani hidupnya yang semakin hari semakin menuntut kekuatan organ tubuhnya. Sehingga tidak boleh ada satu selpun dalam tubuhnya yang ngawur perkembangannya. Karena hal itu berdampak pada kesehatan dan kekuatan tubuhnya melakukan gerak hidupnya.

Adalah kewajiban kader dakwah untuk memenuhi kepribadian dirinya yang berimbas pada kedinamisan gerak dakwah ini. Dan kepribadian ini menjadi watak harian para kader. Maka mulailah berbenah diri secepat mungkin memenuhi tuntutannya. Terlebih bahwa kedinamisan dakwah ini memiliki dampak yang sangat besar. Bagaikan air yang terus mengalir. Aliran air akan menjadi suatu kekuatan dan energi kehidupan. Sebaliknya air yang diam tidak mengalir akan berakibat rusaknya susunan senyawa yang ada sehingga dapat merusak zat benda lainnya.

Kedinamisan gerak dakwah ini akan berdampak pada:

1. Isti’dadu lit tanfidz (Kesiapan dimobilisasi di setiap lini)

Kesiapan kader dakwah untuk bisa dimobilasasi bagi kemenangan merupakan dampak dari gerak dakwah yang dinamis. Keberadaan kader di berbagai lini dapat memudahkan memikul tugas yang semakin banyak. Selayaknya memang bagi Kader dakwah menyadari akan fungsi dan perannya. Sehingga ia dapat selalu siap sedia dimobilisasi dalam untuk proyek besar dakwah ini. bahkan kesiapan dimobilisasi dan berada pada seluruh lini dari dakwah ini menjadi indikasi kualitas kader. Sebagaimana ungkapan Rasulullah SAW. tentang prajurit yang baik adalah mereka yang berada pada tugasnya masing-masing. Bila ditugaskan pada barisan depan ia ada di sana. Dan bila ditugaskan di bagian belakang ia pun menjalankan tugasnya di sana dengan baik.

Berada pada posisinya masing-masing, kader dakwah tidaklah boleh gentar apalagi kecewa dan mengeluh. Sebab semua itu tidak akan bermanfaat bagi dirinya untuk menjalankan tugasnya. Melainkan ia sambut dengan hati senang gembira dan selalu bermohon kepada Allah SWT. agar Dia senantiasa memberikan kekuatan untuk menunaikan tugas tersebut. Sehingga ia akan menjadi satu barisan prajurit yang gagah perkasa menyelesaikan amanahnya.

“(Yaitu) orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran: 172).

Kesiapan kader berada pada lini dakwah yang beragam karena menyadari bahwa pos-pos dakwah ini tidak boleh ada yang kosong. Kekosongan pos dakwah dapat membuka pintu kekalahan. Terlebih lagi pada pos yang sangat strategis. Cukuplah peristiwa Uhud menjadi pelajaran berharga bagi kader dakwah. Dimana pos-pos yang diringgalkan kadernya dapat menjadi peluang bagi musuh untuk mengobrak-abrik barisan kaum muslimin. Oleh karena itu apapun yang ditugaskan dakwah ini untuk menempati lini-lininya dan siap dalam keadaan dimobilisasi mesti diterima dengan antusias dan mengistijabahinya. Malah bila perlu selalu beranggapan bahwa justru disitulah letak kehidupan bagi dakwah ini.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan”. (Al-Anfal: 24).

Meski demikian tidak menutup peluang untuk menyampaikan pendapatnya tentang lini yang paling tepat bagi dirinya. Namun yang perlu diingat adalah sikap kesiapannnya untuk dimobilisasi tidak boleh sampai hilang.

2. Taqwiyatu matanah at tanzhimiah (Mengokohkan soliditas struktural)

Gerak dakwah yang dinamis berdampak pula pada kesolidan struktural dakwah. Apalagi dengan keadaan kadernya yang selalu dalam kondisi siap sedia. Keadaan ini akan mejadikan struktural tidak akan pernah keropos. Sebab sering kali penyebab kekeroposan struktural lantaran gerak dakwah yang asal menggeliat dan kadernya yang dipenuhi dengan qadhaya internal.

Sudah dapat dipastikan bahwa kader yang selalu rebut dengan urusan internal konflik akan menggembosi perjalanan dakwah. Malah gerak dakwah ini menjadi rusuh, jalan tak beraturan dan berarah.

Umar bin Abdul Aziz RA. memerintahkan kepada seluruh jajaran panglimanya untuk mencermati para prajuritnya. Agar selalu memonitor mereka sehingga dapat mengetahui aktivitas apa yang sedang mereka lakukan. Tidak dibenarkan bagi mereka berdiam diri atau tidak dalam barisannya. Perhatian yang sedemikian rupa untuk mempersempit ruang bagi kekeroposan struktural. Karena prajurit yang tidak berada dalam barisan amal akan berpeluang menjadi perusuh.

Ketahanan struktural dapat menjadi tameng yang amat kuat melawan serangan musuh. Serangan sebesar apapun tidak akan mempan untuk menerobos masuk ke dalamnya. Ketahanan ini sekaligus melindungi prajurit yang ada di dalamnya. Oleh karena itu Allah SWT. mewanti-wanti agar selalu menjaga daya tahan struktural melalui persatuan dan kesatuan prajurit yang ada di dalamnya.tidak gaduh dengan persoalan internalnya. Tidak ribut dengan qadhaya dakhiliyahnya.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Ali Imran: 103)

3. Tawsi’atu munawarati ad da’wah (Meluasnya Manuver Dakwah)

Dampak lainnya adalah manuver dakwah semakin meluas. Ia tidak dihambat oleh urusan-urusan internal sehingga langkah geraknya semakin melebar. Apalagi misi dari dakwah ini berkembang. Maka gerakannya harus selalu berkembang baik sisi jumlah kadernya, wilayahnya, jangkauan tanggung jawabnya, tuntutan dan kebutuhannya serta sisi perkembangan lainnya
Rasulullah SAW. selalu mengamati perkembangan demi perkembangan dakwah ini dengan mendapatkan informasi dari para sahabatnya. Sehingga beliau dapat membayangkan masa-masa yang akan terjadi pada dakwah dan umatnya setelah hamasah nabawiyah(kepekaan kenabiannya) tentunya.

Paling tidak dengan kondisi kader dan struktural yang mapan tanpa hambatan yang berarti bagi dakwah ini penyebarluasan dakwah akan semakin pesat dan cepat. Sehingga dakwah ini kembali pada ashalahnya yakni miliki semua orang dari berbagai kalangan bukan hanya pada kalangan tertentu yang sangat terbatas.

Bila seluruh jajaran kader menghiasi dirinya dengan kepribadian kader dakwah sedemikian rupa dan gerak dakwah ini semakin dinamis tanpa henti atau stagnan dalam geraknya maka futuhat-futuhat dakwah ini semakin dekat. Dan pintu-pintu kemenangan itu semakin terbuka. Serta serombongan manusia akan berbondong-bondong menerimanya. Tinggal permasalahan adalah sejauh mana kemauan kader untuk menata diri dan menghiasinya dengan kepribadian tersebut. Disinilah masalahnya. Maka sejak saat ini tanamkan dalam diri kita masing-masing untuk berupaya mewujudkannya dalam diri kita. Tanpa kenal lelah dan henti. Berusahalah semaksimal mungkin semoga Allah SWT. membantu diri kita untuk mengaplikasikannya.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An-Nur: 55)

Baca Selengkapnya...

Monday, November 9, 2009

Mengenang 100 tahun Imam Syahid Hasan Al-Banna


Mengenang seratus tahun Imam Syahid Hasan Al-Banna; kembali kita mengingat masa hidup beliau, di saat begitu banyak peristiwa yang menerpa dunia Islam setelah perang dunia I, dan disaat dunia Islam mengalami kemunduran akibat jatuhnya khilafah Islamiyah, sehingga mesti ada seseorang yang lahir ke dunia mengembalikan Islam kembali hidup dan mulia.

Saat begitu kuatnya persekongkolan yang dilakukan oleh kekuatan jahat pemerintahan Arab dan dunia barat, hadir seorang pemuda berumur 21 tahun yang telah banyak meneguk air sungai nil untuk menghilangkan dahaga dan menjadikan ajaran Islam sebagai syariat dan minhajul hayah (jalan hidup), Al-Quran sebagai hidayah. Beliau selalu menyeru “Wahai kaum kami, sesungguhnya saya menyeru kepada kalian, bahwa Al-Quran ada ditangan kanan saya dan sunnah di tangan kiri saya dan amal para salafussholih dari umat ini sebagai tauladan. Kami menyeru kepada kalian untuk kembali kepada Islam; ajaran dan hidayah Islam… Islam adalah sistem kehidupan yang komprehensif, mencakup segala aspek kehidupan, dia merupakan negara dan bangsa, atau pemerintahan dan umat, dia merupakan akhlak dan kekuatan atau rahmat dan keadilan, dia merupakan tsaqafah dan qonun atau ilmu dan hukum, dia merupakan materi dan harta atau usaha dan kekayaan, dan dia merupakan jihad dan da’wah atau prajurit dan ideologi, sebagaimana dia merupakan akidah yang bersih dan ibadah yang benar satu sama lainnya”.

Jadi melalui cahaya yang bersinar di ufuk mengajak untuk mengembalikan kehidupan pada ajaran Islam yang agung, melalui tangan yang telah digerakkan oleh pertolongan ilahi sehingga mampu mengemban beban da’wah ini dan mengembalikan cahayanya kembali bersinar, memancarkan cahaya kesegala penjuru dunia. Demikianlah Imam Syahid Hasan Al-Banna, lahir kedunia pada saat dan waktu yang tepat, guna membangun kembali Islam yang telah luntur dan membina jamaah yang beriman dan mampu mengemban da’wah yang telah diamanahkan di pundak yang menisbatkan diri kepada da’wah.

Imam Al-Banna rahimahullah adalah figur yang telah digerakkan oleh takdir ilahi, dibentuk oleh tarbiyah Rabbaniyah, muncul pada waktu dan tempat yang tepat, maka sangatlah cocok ungkapan ustadz Umar At-Tilmitsani dengan “Anugerah yang sangat berharga”. Beliau tidak pernah ragu untuk mengenalkan dirinya: “Saya adalah seorang pelancong yang sedang mencari kebenaran, manusia yang mencari petunjuk ditengah kerumunan manusia, rakyat yang mengidamkan kemuliaan negaranya, kebebasan, ketenangan dan kehidupan yang sejahtera dibawah naungan Islam yang suci, saya seorang hamba yang mengenal tujuan hidup, lalu beliau membaca firman Allah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah karena Allah Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan dengan demikian Aku diperintahkan dan Aku termasuk orang yang pertama muslim”. (Al-An’am : 162-163). Inilah saya, lalu sipakah anda?

Mengenang seratus tahun Imam Al-Banna, saat beliau masih belia, sosok yang memiliki kecerdasan pada akal dan fikirannya, begitu besar semangat dan ghirahnya terhadap agama. Saat beliau berumur 10 tahun tidak didapati dalam dirinya kecuali kegigihan beliau dalam merubah segala kemungkaran yang dilihatnya, seperti yang pernah dilakukan terhadap seorang penari telanjang yang menari di atas perahu di sepanjang sungai nil di daerah Al-Mahmudiyah.

Begitupun kita mengenang beliau; Saat menjadi pelajar dalam berbagai jenjangnya, beliau begitu semangat dalam mengikuti dan membentuk Jam’iyyah (lembaga) da’wah seperti (Jam’iyah akhlak Al-adabiyah – lembaga akhlak dan etika, Jam’iyah man’u al-muharramat – lembaga pencegah perbuatan haram, Jam’iyah Al-ikhwan al-hashofiyah - Lembaga al-Ikhwan al-hashofiyah), kita belajar dari beliau akan ghirah Islam yang begitu menggelora, semangat dalam menyampaikan da’wah dan himmah (Antusias) dalam mengajak manusia pada kebajikan dan mencegah kemungkaran.

Kita mengenang beliau; Sosok yang hidup dengan jujur karena Allah, menunaikan janjinya bersama Allah saat mendaftarkan dirinya sebagai tentara Allah, seperti dalam ungkapannya yang masyhur, sebagai bagian dari impiannya: “Saya harus menjadi seorang yang mursyid (memberikan arahan) dan muallim (memberikan pelajaran), sehingga sepanjang hari saya bisa mengajarkan anak-anak, sementara di malam harinya saya bisa mengajarkan orang tua tentang tujuan agama mereka, sumber kebahagiaan dan perjalanan hidup mereka. Kadang disampaikan melalui khutbah dan kadang dengan melakukan dialog, mengarang buku, menulis, dan juga dengan melakukan jaulah (perjalanan)”.

Kita belajar darinya akan tingginya semangat dan tujuan hidup serta kesempurnaan dalam menunaikna apa yang dinadzarkan terhadap dirinya.

Kita semua mengenang beliau; Seorang muslim yang optimis dan berani membusungkan dadanya sambil berkata: “Inilah saya”, Sambil menggenggam Al-quran dan dengan suara yang tinggi beliau berseru: “Jalan yang benar adalah dari sini”, beliau juga menyampaikan kepada seluruh manusia “Bahwa Islam adalah sistem yang komprehensif mencakup segala aspek kehidupan, menetapkan hukum pada setiap keadaan dan meletakkan sistem yang permanen dan teliti serta tidak pernah berhenti sekalipun berhadapan dengan benturan-benturan dan sistem yang dlalim dalam memberikan kebaikan kepada manusia manusia”. Kita belajar darinya sikap optimisme yang membangun.

Mengenang seratus tahun Imam Al-Banna, sosok yang beriman kepada Allah dan memiliki keyakinan yang penuh akan pembelaan dan dukungan Rabb-nya, beliau menyeru: “Serukanlah kepada kami karena sesungguhnya kami membawa suatu kebaikan, kumpulkanlah kepada kami manusia maka akan kami bacakan kepada mereka dzikir, kami akan menjadi dokter bagi yang sakit, akan diam teliang penduduk dunia jika tidak mendengar semboyan kami; “Allah adalah tujuan kami, Rasul adalah pemimpin kami, Al-Quran dustur kami, jihad adalah jalan hidup kami, mati di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami…” Kita belajar dari azzam (semangat) dari seorang pemuda yang beriman yang tidak merasa lemah, keyakinannya sangat tinggi dalam jiwanya, agamanya, dakwahnya dan kesiapan dirinya untuk berkorban dijalan da’wah yang diembannya.

Mengenang seratus tahun imam Syahid Hasan Al-Banna; sosok yang begitu berani menyerukan tujuan ideologinya: “Mencetak generasi baru yang beriman kepada ajaran-ajaran Islam yang benar, siap bekerja dalam melakukan perbaikan pada umat dengan shibgah al-islamiyah (celupan islam) yang komprehensif dalam segala aspek kehidupan”. “Shibgoh Allah, dan adakah shibghoh yang lebih baik dari shibgoh Allah ?” (Al-Baqoroh : 138). Beliau berhasil menyelamatkan umat Islam dari penyimpangan, menyambungkan lisannya dan menyemburkan ruhnya kepada murid-muridnya, dan dengan gambalang beliau berkata kepada mereka: “Ruh yang berjalan dihati umat ini yang hidup dengan Al-Quran, cahaya yang bersinar hingga menembus kegelapan materi melalui ma’rifah Allah swt, suara yang bergema meninggikan dakwah Rasulullah saw… Kita belajar darinya akan terangnya tujuan dan status serta benarnya petunjuk jalan.

Mengenang beliau; Seorang imam (pemimpin) yang sangat mengagumkan, di bumi Mesir beliau mampu menembus jalan hingga berpuluh-puluh kota besar dan beribu desa, berbicara kepada setiap manusia paling sedikit tiga ribu desa, beliau menanamkan benih cinta melalui senyuman dan kasih sayang, memberikan keyakinan yang memuaskan dan menyejukkan, menghindar silang pendapat dan menolak perdebatan dan memberikan komentar dengan gamblang bukan dengan fenomena, mendahulukan yang lebih penting dari yang penting… Namun sebelum dan sesudahnya beliau selalu menekankan akan pentingnya taqwa kepada Allah dan bersiap diri untuk bertemu dengan-Nya, beliau selalu menyeru : “Bahwa fana dalam kebenaran merupakan kunci kekekalan”. .. Kita belajar darinya usaha yang terus menerus untuk menyebarkan da’wah dan risalah, dan tidak kekalnya jiwa dari ajalnya.

Mengenang seratus tahun Imam Al-Banna; Pendiri dua ribu cabang di berbagai desa di penjuru Mesir, pada tiap cabang didirikan sekolah untuk menanamkan kebangsaan dan jihad, amal shalih dan dakwah, beliau menghidupkan kepahlawanan dan keberanian, membuka wawasan terhadap hakikat yang terjadi didunia politik, membina generasi baru yang memliki kesemangatan kebangsaan dan memiliki kesiapan untuk mengorbankan jiwanya dan hartanya dan segala apa yang dimilikinya guna mempertahankan negara dan kehormatan dirinya.

Mengenang seratus tahun Imam Al-Banna; sosok yang memberikan gambaran kepada kita tentang pengikutnya: “Mata mereka terus bangun hingga larut sementara manusia terlelap dalam tidurnya, jiwa mereka sibuk sementara yang lainnya dalam keadaan lalai, salah seorang dari mereka duduk di perpustakaannya hingga larut malam terus bekerja dan berjuang, menjadi mufakkir dan mujaddid, terus berjalan selama sebulan sepanjang hidupnya, sehingga saat berada dipenghujung bulan dijadikan tempat kembalinya adalah untuk jamaah, dikeluarkan hartanya untuk merealisasikan tujuannya, lisannya berbicara untuk membangunkan umatnya yang lengah akan pengorbanannya. “Saya tidak berharap kepada kalian upah, karena tidak ada yang aku harapkan kecuali ganjaran dari Allah”. (Hud : 29).. Kita belajar darinya usaha yang sempurna terhadap dakwah dan permasalan umat.

Mengenang Imam Syahid Hasan Al-Banna saat beliau berpidato: “bahwa Umat yang baik dalam mempersiapakan kematian, mengetahui bagaimana menggapai kematian yang mulia, maka Allah anugerahkan kepadanya kehidupan yang mulia di dunia dan kenikmaatan yang kekal di akhirat, maka persiapkanlah diri kalian untuk menyongsong hari yang agung, bersegeralah dalam menyambut kematian sehingga jiwa kalian akan hidup, dan ketahuilah bahwa kematian merupakan suatu kepastian, dan tidak akan terjadi kematian kecuali hanya sekali, jika anda membuatnya berada di jalan Allah maka hal tersebut merupakan keberuntungan didunia dan ganjaran di akhirat”. Kita belajar darinya bagaimana hakikat berkorban dan berdakwah dijalan Allah .

Saudaraku yang tercinta…

Seratus tahun telah berlalu kelahiran pemimpin kita, namun sosok dakwahnya masih tetap menggetarkan dunia, para pembela dakwah dan ideologinya dan juga para penentangnya, semuanya melihat seperti burung elang yang terbang diatas langit menembus angin topan, para pengikut dakwahnya masih terus bergerak di setiap tempat, dakwah yang menembus hingga 90 negara di dunia, hingga menjadi tandhim Islam yang membawa ideologi, menyeru dan membina manusia menuju Allah, untaian hikmah beliau masih terus bergema dan selalu diulang di tengah-tengah kita, beliau selalu menyerukan kepada pendukung dan penentangnya: “Kami akan memerangi manusia dengan cinta”. Memberikan arahan akan tabiat perjuangan dan jalan yang sebenarnya: “Bahwa perjuangan kita adalah perjuangan tarbiyah (pembinaan)”. Guna menebar benih cinta dan tarbiyah dalam dakwah, keduanya merupakan rahasia keberlangsungan dakwah sekalipun angin topan menerpanya. (Ikhwanonline.com 14/11/2006. Oleh: Ismail Hamid)

Baca Selengkapnya...

Sunday, November 8, 2009

Imam Al-Banna Menyeru Melakukan Boikot Ekonomi Atas Amerika Untuk Palestina


Minuman Coca Cola adalah haram… khususnya bagi ikhwanul Muslimin

Ustadz imam syahid Hasan Al-Banna, mursyid Am ikhwanul mulismin menyebarkan berita secara umum kepada seluruh kantor cabang ikhwanul Muslimin yang ada di Mesir, beliau menyampaikan bahwa “”Pemerintah Amerika telah memberikan sikap terhadap permasalahan Arab dan Palestina yang jauh dari kebenaran dan keadilan bahkan justru mendukung kezhaliman dan orang-orang yang melakukan kezhaliman.

Karena minuman coca cola adalah minuman yang berasal dari Amerika, maka menjadi kewajiban bagi kita dihadapan Allah, Negara, agama dan Arab untuk tidak membantu orang-orang yang mendukung Yahudi dalam melakukan penjajahan, permusuhan dan pembantaian terhadap umat Islam, karena hal tersebut tidak sesuai dengan agama dan perintah-perintahnya yang toleran dan mulia dan memerintahkan untuk memusuhi orang-orang yang melakukan permusuhan kepada Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman.

Karena itulah, saya mengajak kepada Ikhwanul Muslimin seluruhnya untuk menjadikan minuman coca cola sebagai minuman haram atas mereka, karena itu janganlah memasukkan minuman tersebut ke rumah-rumah dan kantor-kantor, serta tidak menjadi minuman yang disuguhkan kepada pengunjung atau tamu-tamu…

Ikhwanul muslimin wajib melakukan boikot terhadap minuman Amerika dan seluruh barang yang berasal dari Amerika, sementara bagi ikhwan yang menjual minuman tersebut maka harus mengembalikan kembali kepada produsennya, sehingga kita dapat memberikan sikap tegas kepada Amerika bahwa kita adalah umat yang memahami kewajibannya, dan sebagai umat yang tidak ingin membentangkan tangannya terbuka begitu saja serta tidak mau bekerja sama dengan musuh-musuhnya apalagi terhadap negara terang-terangan melakukan permusuhan kepada kita (umat Islam).

Demikianlah wasiat saya kepada kalian, dan inilah wasiat Allah dan wasiat Al-Qur’an.

Allah Akbar dan segala puji hanya milik Allah.

____________________________________

Sumber:

Turats imam Al-Banna, dinukil dari Koran Tanta. Edisi 838, tahun 23, tanggal 18 Sya’ban tahun 1367/26 Juni tahun 1948. (hal:7)

Baca Selengkapnya...

Saturday, November 7, 2009

Etika Timbal-balik Antara Pemimpin & Bawahan Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah yang Shahih

Oleh: Aba AbduLLAAH

Assalamu ‘alaykum,

Segala puji adalah hanya layak bagi ALLAH, kami memuji-NYA, meminta pertolongan kepada-NYA & meminta ampunan, dan kami berlindung dari keburukan hawa nafsu kami dan dari kejelekan amal-amal kami, barangsiapa diberi hidayah oleh ALLAH maka tiada yang dapat menyesatkannya & barangsiapa yang disesatkan ALLAH maka tiada yang dapat memberinya hidayah…

Dan kami bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali ALLAH, Yang Maha Esa & tiada sekutu bagi-NYA, dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah Nabi & rasul-NYA. Kamipun bersaksi sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabuLLAAH & sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi SAW, dan seburuk-buruk urusan adalah yang dibuat-buat, dan semua yang dibuat-buat itu adalah bid’ah & semua bid’ah adalah sesat & semua kesesatan adalah di neraka…

Ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’anakumuLLAAHa jami’an,

Menyambut mulai masuknya sebagian du’at ke marhalah daulah & makin banyaknya ikhwah wa akhwat yang menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan (baik eksekutif maupun legislatif), dan semakin hari semakin banyak amanah kekuasaan yang diujikan oleh ALLAH SWT untuk dipegang oleh para du’at dari harakah ini, maka ada beberapa dhawabith kepemimpinan Islam yang merupakan ashalah da’wah kita, yang hendaknya selalu dijaga & diperhatikan..

Agar dijadikan sebagai Ma’alim Fi Thariq (Rambu-rambu dalam Perjalanan), demikian kata Sayyid Quthb -ja’alahuLLAAHu syahidan- atau sebagai Nurun ‘ala Darb (Cahaya dalam Perjalanan), demikian kata Syaikh Ibni Baaz -rahimahuLLAAH-; sehingga kita tidak menjadi ghurur (lupa diri), ataupun terjadi tamyi’ (pengenceran) terhadap nilai-nilai dakwah ini saat mengemban amanah memimpin ummat ini insya ALLAH, aamiin ya RABB…

Oleh sebab itu ana berusaha membuat tulisan ini untuk mencoba menjelaskan secara singkat Etika Kepemimpinan dalam Islam, serta Etika yang Saling Timbal-Balik, apa yang harus dilakukan & dipenuhi oleh seorang qiyadah (baik qiyadah dakwah maupun qiyadatul ummah), dan apa saja yang wajib dipenuhi oleh seorang jundiyyah (baik junudu dakwah maupun junudu daulah), sehingga mudah-mudahan kita selalu berada di dalam jalur yang benar & berhak mengharapkan ridha ALLAH & Jannah kelak, sebagai pemimpin ummat yang adil yang paling pertama akan diberi naungan oleh ALLAH SWT di yaumil Mahsyar kelak, aamiin ya RABB…

Wa ufawwidhu amrii ilALLAAH innaLLAAHa bashiirun bil ‘Ibaad,

Abi AbduLLAAH

AL-ADAAB AL-MUTABAADILAH BAYNA AL-QIYAADAH WAL JUNDIYYAH FII DHAU’IL KITAABI WAS SUNNAH

(Etika Timbal-balik Antara Pemimpin & Bawahan Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah yang Shahih)

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat kelak.[1]”

1. KEPEMIMPINAN DALAM LUGHAH:

a. Imam: Asal katanya ‘Amama’ karena ia: Berada di depan (amam), mengasuh (ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma). Berkata Imam Al-Jauhary : Imam adalah orang yang memberi petunjuk (yuqtada)[2].

b. Amir: Yang memberi perintah (seperti dalam ayat : Amarna mutrafiha), juga sesuatu yang mengagumkan (seperti dalam ayat : laqad ji’ta syai’an imra)[3].

c. Waliyy: Dekat, akrab (Jalasa mimma yali=duduk dengan orang didekatnya); tempat memberikan loyalitas (ALLAHumma man waliya min amri ummati)[4].

d. Qadah/qiyadah: Penggiring ternak, orang yang memberi petunjuk, pemandu atau penunjuk jalan[5].

e. Khalifah: Para fuqaha’ mendefinisikannya sbg suatu kepemimpinan umum yg mencakup urusan keduniaan & keagamaan, sbgm yg dilakukan oleh Nabi SAW yg wajib dipatuhi oleh seluruh ummat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan al-Imamah, karena inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk memimpin agama & keduniaan[6]. Menurut Ibnu Khaldun yaitu penanggungjawab umum dimana seluruh urusan kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah kembali kepadanya[7].

2. KEPEMIMPINAN DALAM AL-QUR’AN:

a. Memiliki Loyalitas yang Mutlak: “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi Pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.[8]”

b. Kuat & Amanah: “Berkata salah seorang diantara anaknya (Syu’aib) : Wahai ayahanda, jadikanlah ia sebagai pegawai, karena sebaik-baik pegawai adalah yang kuat lagi bisa dipercaya.[9]”

c. Sehat & Berilmu: “…Sesungguhnya ALLAH SWT telah memilihnya (Thalut) sebagai rajamu, karena ia memiliki kekuatan fisik dan berilmu. Sesungguhnya ALLAH memberikan kekuasaan-NYA kepada siapa yang dikehendaki-NYA, sesungguhnya IA Maha Luas (ilmu-NYA) lagi Maha Mengetahui.[10]”

d. Merupakan Ujian ALLAH SWT: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesungguhnya AKU akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim.[11]“

e. Merupakan Tanda Ketaqwaan: “Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.[12]”

3. KEPEMIMPINAN DALAM AS-SUNNAH:

a. Jujur dan Tidak Menipu: Nabi SAW melaknat pemimpin yang dipercaya untuk mengurus urusan ummat lalu ia malah menipu atau menyengsarakan mereka, sebagaimana dalam sabdanya SAW : “Ya ALLAH, siapa saja yang diberikan kekuasaan untuk mengurusi ummatku lalu ia menyengsarakan mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang diberi kekuasaan lalu ia mempermudah mereka, maka mudahkanlah ia.[13]” Dan Islam menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinan ummat maka ALLAH SWT tidak akan memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat kelak[14].

b. Adil & Amanah: Islam menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang tertinggi, yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan. Diantaranya ia termasuk kelompok pertama yang dinaungi oleh ALLAH SWT diantara 7 kelompok utama yang dinaungi-NYA pada Hari Kiamat kelak[15]; Iapun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di Hari Kiamat[16]; Dan pemimpin yang demikianlah yang akan senantiasa dicintai dan didoakan oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya[17]; Sehingga dalam salah satu haditsnya, nabi SAW sampai menyatakan bahwa pemimpin yang demikian termasuk 3- golongan manusia yang paling utama dan paling berhak masuk Jannah, disamping orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta[18].

c. Tidak Wajib Taat pada Pemimpin yang Memerintahkan Maksiat: Oleh karena itu di dalam Islam pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan diataslah yang berhak dan wajib untuk ditaati (Tafsir QS An-Nisaa’, 4:59), syarat taat pada pemimpin dalam ayat tersebut adalah mu’allaq/tergantung pada apakah ia taat pada ALLAH SWT dan Rasul SAW atau tidak, dimana cirinya adalah ia senantiasa kembali kepada ALLAH SWT dan rasul-NYA SAW jika terjadi perbedaan pendapat ataupun perselisihan) dan bukan pemimpin yang memiliki sifat sebaliknya, jika ia memiliki sifat sebaliknya maka tidak wajib sama sekali untuk didengar dan ditaati[19].

d. Tidak ada Batasan Ras/Kebangsaan: Tentang siapa pemimpin itu Islam tidak membatasi ia dari ras dan kelompok apapun, asal mengikuti dan menegakkan syariat maka wajib ditaati, sekalipun ia adalah seorang yang berkulit sangat hitam yang kepalanya bagaikan kismis (saking hitamnya)[20]. Kendatipun demikian, afdhal memilih pemimpin disesuaikan dengan suku/kebangsaan rakyat yg dipimpinnya[21].

e. Pemimpin Wajib Memilih Bawahan yang Jujur: Seorang pemimpin yang adil tentunya akan memilih pembantu-pembantu, wakil-wakil dan menteri-menteri yang adil pula. Tidak mungkin seorang yang baik (tanpa keterpaksaan) akan mengangkat atau memilih wakil dan menteri yang merupakan para musuh ALLAH SWT, seperti para koruptor, kaum oportunis apalagi para kolaborator asing[22]. Benarlah pernyataan pemimpin abadi kita nabi Muhammad SAW : “Jika ALLAH SWT menghendaki kebaikan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya menteri-menteri yang jujur, (yaitu) yang jika ia khilaf maka selalu mengingatkan dan jika ia ingat maka selalu dibantu/didorong. Dan jika ALLAH SWT menghendaki keburukan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya para menteri yang jahat. Jika penguasa itu lupa, maka tidak diingatkan dan jika ia ingat maka tidak didorong/dibantu.[23]”

4. KEWAJIBAN TAAT PADA PEMIMPIN YANG ISLAMI:

a. Wajib Taat pada Pemimpin yang Islami: Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yg taat kepadaku maka ia telah taat kepada ALLAH, dan barangsiapa yg tidak taat kepadaku maka berarti tidak taat kepada ALLAH. Barangsiapa yg taat kepada Pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yg tidak taat kepada pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah tidak taat kepadaku.[24]”

b. Ketaatan tersebut tetap Berlaku Walaupun Di Satu Sisi Seolah Mengorbankan Kepentingan sebagian Rakyatnya: Dari Abu Hunaidah, Wa’il bin Hajar ra berkata : Bertanya Salmah bin Yazid al-Ju’fiy pd Rasulullah SAW : Wahai Nabi Allah … bgm pendptmu jk ada seorg pemimpin yg selalu meminta ketaatan dari kami tapi tidak memberikan hak kami, apa yg anda perintahkan pd kami ? Maka Rasulullah SAW memalingkan wajahnya, mk Salmah bertanya lagi yg kedua kali, maka jawab Rasulullah SAW : Dengarlah oleh kalian semua dan taatilah ia, karena bagi kalian pahala ketaatan kalian dan baginya dosa ketidakadilannya.[25]”

c. Dosanya Memisahkan Diri dari Ketaatan pada Pimpinan yang Islami: Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia kelak akan bertemu dengan ALLAH SWT tanpa dapat mengemukakan argumentasi apapun.[26]” Dalam hadits lainnya: “Barangsiapa meninggalkan ketaatan lalu memisahkan dirinya dari Jama’ah lalu ia meninggal maka ia mati Jahiliyyah.[27]” Perhatikan baik-baik dalam hadits tersebut disebutkan Al-Jama’ah, yg maksudnya Jama’ah Islam, bukan sembarang pemerintahan, (lihat pula judul bab pada takhrij hadits tersebut di dalam Shahih Muslim).

5. BENTUK-BENTUK KETAATAN:

a. Mendengarkan dan memahami perintah dengan sebaik-baiknya, memohon penjelasan sampai jelas kemudian melaksanakannya dengan tidak menunda-nunda dan dengan sebaik-sebaiknya. Lihat kisah Ali bin Abi Thalib ra dalam perang Khaibar dalam Shahih Bukhari[28].

b. Melipatgandakan kesabaran saat melaksanakan perintah tersebut, ikhlas dan tidak menguranginya atau menambahinya sedikitpun. Lihat kisah Jundub bin Makits al-Juhni saat dalam Sariyah[29].

c. Melaksanakan dengan segera perintah tersebut, walaupun tidak sesuai dengan pendapatnya atau berbeda dengan keinginannya, lihat kisah Hudzaifah bin Yaman saat perang Ahzab[30].

d. Saling memberi dan menerima nasihat. Lihat kisah Umar bin Khattab ra saat perjanjian Hudhaibiyyah dengan Nabi SAW & Abubakar ra[31].

e. Meminta izin dalam setiap urusan pentingnya atau sebelum mengambil keputusannya[32].

WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab…

Catatan Kaki:

[1] HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352 no. 3408

[2] Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, XII/22

[3] Lisanul Arab, III/370

[4] Ash-Shihah fil Lughah, Al-Jauhary, I/22

[5] Al-Qamus Al-Fiqhi, I/388

[6] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal.3

[7] Al-Muqaddimmah, Ibnu Khaldun, hal.180

[8] QS Al-Maidah, 5/55-56

[9] QS Al-Qashshash, 28/26

[10] QS Al-Baqarah, 2/247

[11] QS Al-Baqarah, 2/124

[12] QS Al-Furqan, 25/74

[13] HR Muslim no. 1828

[14] HR Abu Daud no. 2948; Tirmidzi no. 1332; al-Hakim IV/93-94; menurut Imam al-Mundziri sanad-nya shahih karena ada syahid dari hadits Muadz ra yang diriwayatkan oleh Ahmad V/238-239.

[15] HR Bukhari II/119 dan 124; Muslim no. 1031

[16] HR Muslim no. 1827; Nasa’i VIII/221; Ahmad II/160

[17] HR Muslim no. 1855

[18] HR Muslim no. 2865

[19] Bukhari XIII/109; Muslim no. 1839; Abu Daud no. 2626; Tirmidzi no. 1707; Nasa’i VII/160

[20] HR Bukhari XIII/108

[21] HR Bukhari, XXII/44, bab Al-Umara’u min Quraisy; Muslim, IX/333-338

[22] QS Al-Mumtahanah, 60:1

[23] HR Abu Daud no. 2932, dengan sanad yang baik menurut syarat Muslim; juga Nasa’i VII/159 dengan sanad yang shahih

[24] HR Bukhari, kitab al-Jihad, bab Yuqatilu min Wara’il Imam, juz-IV, hal.61

[25] HR Muslim, bab Fi Tha’atil Umara’ wa in Mana’u, IX/384

[26] HR Muslim, IX/393

[27] HR Muslim, kitab al-Imarah, bab Wujub Mulazamatin Jama’atil Muslimin ‘Inda Zhuhuril Fitan, juz-III hal.1476

[28] Fathul Bari’ , Ibnu Hajar, IV/57,58; V/22,23,171

[29] Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, IV/222,223

[30] Shahih Muslim, III/1414, 1415; Musnad Ahmad, V/392,393

[31] Sirah Nabawiyyah, Ibnu Katsir , III/218, 319

[32] QS An-Nur, 24/62

Baca Selengkapnya...

Mengkritik Ikhwan; Antara Mubah (boleh), Mutah (Peluang) dan Munakh (Suasana)

Oleh: DR. Anwar Hamid

Kritik, dalam keadaan apa pun, berguna, termasuk kalaupun tendensius. Ia menjadi pertanda sehat, termasuk kalaupun tidak obyektif. Pernyataan ini bukan ajakan untuk tidak obyektif dalam mengkritik, atau untuk memberikan justifikasi kepada orang-orang yang mempunyai tendensi, namun, pernyataan ini adalah seruan untuk menerima kritik sebagai prinsip dan tidak memerangi serta menyerangnya saat terjadi cacat dalam cara mengkritik atau aib dalam pelaksanaannya atau karena di salah gunakan oleh orang yang tendensius

Kemestian Kritik

Kritik merupakan ciri masyarakat, apa pun budayanya. Dan wanita-wanita di kota berkata: “Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya)! Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam …” (Yusuf: 30). Ciri ini lalu ter transformasi ke masyarakat yang mapan dan keluarga-keluarga besar di desa-desa dan kampung-kampung, terwujud dalam bentuk kritik terhadap perilaku dan tindakan yang tidak lurus, dan terkadang ada intervensi tendensi, hawa nafsu, dendam dan dengki yang merubah kritik menjadi isu tendensius. “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat … (An-Nur: 19). “…sedang di antara kamu ada orang-orang yang menjadi telinga bagi mereka… (At-Taubah: 47). Tidak diragukan lagi bahwa kritik ini dengan seluruh kebaikan dan keburukannya:

- Mendorong manusia untuk berhati-hati dalam bertindak.

- Mencegah mereka untuk meninggalkan banyak perilaku karena takut terkena kritikan.

Terkadang kritik dilakukan terhadap segala hal yang baru dalam masyarakat, meskipun hal yang baru itu bermanfaat. Termasuk dalam hal ini adalah penentangan kepada para rasul dan risalah yang dibawanya. “Dan mereka berkata: “Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?…” (Al-Furqan: 7). Dan mereka berkata: “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?”. (Az-Zukhruf: 31). Termasuk dalam hal ini juga adalah penentangan terhadap para pembawa perubahan dan manhaj-manhaj mereka. Mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Az-Zukhruf: 22). Mereka mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri”. (Al-A’raf: 82). (An-Naml: 56)

Demikianlah setiap pemilik manhaj perbaikan (reformasi), termasuk di antara mereka adalah Al-Ikhwan dan seluruh gerakan Islam dan pembaharuan.

Jadi, kritik dan penentangan kepada mereka adalah kemestian, tidak bisa tidak dan tidak dapat dipisahkan darinya.

Dengan adanya kritik, berbagai pemikiran menjadi berbeda. Serangan kelompok tendensius terhadap sebuah fikrah (gagasan) adalah bukti dari keabsahan dan ke-istiqamah-an fikrah ini. Betapa banyak gerakan Islam secara umum, dan Al-Ikhwan secara khusus mengambil pelajaran dari adanya “serangan” dan kritikan kaum tendensius itu, sebab, “jika Allah swt. menghendaki sebuah keutamaan yang tersembunyi agar tersebar luas, maka Dia bukakan peluang untuk keutamaan itu mulut dari orang-orang yang iri”.

Karena kritikan, pergerakan menjadi naik, maju, itqan dan memperbaiki produknya, sebagaimana kata seorang penyair:

Mereka mencelaku, maka aku mengetahui kehinaan ku #

Mereka menyaingi ku, maka aku bersungguh-sungguh dalam meraih nilai-nilai tinggi

Kritik yang diperbolehkan

Tidak diragukan dan tidak diperdebatkan lagi bahwa kemestian kritik tidak berarti diperbolehkan secara mutlak.

Kritik yang diperbolehkan adalah kritik membangun yang berkenaan dengan hal-hal umum dan bukan hal-hal khusus (privacy), policy umum dan bukan lembaga atau perseorangan.

Dan inilah manhaj Islam yang melarang untuk mencari-cari aurat (aib, kesalahan), sebab, siapa saja yang mencari-cari aurat orang lain, niscaya Allah swt. akan mencari-cari auratnya, dan hampir saja membuka kedoknya.

Dan inilah yang oleh Imam Al-Banna dijadikan syiar umum dan satu dari sekian banyak prinsip-prinsip Al-Ikhwan saat beliau melarang “melukai” lembaga dan perseorangan. Dan sikap beliau saat mengkritik buku DR. Toha Husain adalah bukti paling kuat dalam hal ini.

Dan inilah yang didorong oleh Al-Qur’an: “dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …” (An-Nahl: 125)

Al-Qur’an juga mendorong kita untuk bertutur kata yang terbaik. Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka …”. (Al-Isra’: 53)

Al-Qur’an melarang berkata-kata kotor, sebab Rasulullah saw. bersabda: “Bukan seorang muslim orang yang suka “menusuk”, melaknat, berkata kotor dan hina”.

Mengkritik perilaku perseorangan atau kelompok diperbolehkan dengan tanpa memberi isyarat kepada nama atau posisi, kecuali jika ia adalah publik figur yang memanfaatkan posisinya untuk berbuat kotor dan kerusakan. Ia lakukan perbuatannya itu secara terbuka di hadapan publik dan berbangga dengannya. Saat inilah tepat padanya hadits Nabi saw.: “Bongkar lah orang yang fajir itu sehingga dijauhi oleh manusia dan tidak diikutinya …”. (hadits daif). Padahal, dalam Islam, pada asalnya, tentang masalah ini adalah kewajiban untuk menutupi aib dan aurat, dan Allah swt. itu Zat yang Maha menutupi, memberi tempo, menutupi dan tidak membuka aib. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa yang telah Engkau tutupi, dan tutupi lah aib-aib yang tidak diketahui oleh manusia dan Engkau ketahui”

Peluang Kritik

Pada asalnya –sebagaimana kami nyatakan di depan- adalah kewajiban kita untuk menutup dan menahan mulut (untuk tidak berbicara). “Tahanlah mulutmu, hendaklah rumahmu menampung mu, dan tangisi lah kesalahanmu” (hadits shahih)

Dan tidak semua yang diketahui diucapkan. Juga, setiap posisi ada perkataan khas untuknya.

Di sini tampak jelas batasan dan adab amar ma’ruf nahi munkar.

Sesuatu yang diucapkan oleh seorang ayah kepada seorang anak berbeda dengan sesuatu yang diucapkan anak kepada bapak. Demikian halnya ucapan seorang anak yang lebih muda kepada yang lebih tua. Juga ucapan seorang pegawai kepada atasannya berbeda dengan ucapan seorang pegawai kepada sesamanya, demikianlah seterusnya.

Pada suatu hari, ada seorang ulama berkata kasar kepada Al-Hajjaj (40 – 95 H = 660 – 714 M) saat berbicara dan memberi nasihat kepadanya. Maka Al-Hajjaj memberi pelajaran kepadanya dengan pelajaran yang tidak akan terlupakan. Ia berkata: “Wahai sang alim, sungguh Allah swt. telah mengutus seseorang yang lebih bertaqwa daripadamu kepada orang yang lebih jahat dariku, Allah swt. telah mengutus nabi Musa as. kepada Firaun, lalu Allah swt. berfirman kepada nabi Musa: “Katakan kepadanya [Firaun] perkataan yang lembut, supaya dia ingat dan takut”. (Thaha: 44)

Tidak dibenarkan bagi siapa saja yang mempunyai mimbar (forum, majelis, dan sebagainya) untuk mengatakan apa saja yang ia kehendaki, sebab, sebuah kosa kata adalah amanah dan tanggung jawab, dan tidak ada seorang penulis pun kecuali akan binasa, sementara apa yang ditorehkan oleh kedua tangannya akan tetap ada sepanjang kehidupan, oleh karena itu, janganlah engkau menuliskan dengan kedua tanganmu selain tulisan yang kamu akan senang melihatnya pada hari kiamat.

Iklim atau Suasana Kritik

Seorang muslim hendaklah awas terhadap zaman dan tempatnya berada, memahami dengan baik apa yang terjadi di sekelilingnya, supaya kalimat-kalimatnya tidak disalahgunakan, sebagaimana ucapan sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib kepada kaum Khawarij: “Kalimat kebenaran tetapi yang dimaksud darinya adalah kebatilan”.

Rasulullah saw. pernah diserang harga diri dan kehormatannya, dan Allah swt. membongkar hakikat dari serangan itu, membuka kartu sang pembuat isu dan sang pemilik tendensi, namun pembukaan hakikat itu terjadi setelah berlalu masa 19 atau 20 tahun. Artinya setelah hukum dan syariat sempurna. Hanya saja, iklim atau suasana umum yang penuh dengan orang-orang munafik, para pemilik tendensi khusus, penurut hawa nafsu dan mereka-mereka yang berjiwa lemah dari kalangan kaum muslimin belum tepat. “dan di antara kamu ada telinga-telinga bagi mereka” (At-Taubah: 47). Maka beliau saw. bersabda dengan sabda yang sangat populer: “Adakah kamu menginginkan agar sesama orang Arab saling berkata: ‘Muhammad membunuh sahabatnya’”!

Hal ini terjadi saat beliau diminta untuk menegakkan hukuman atas pembuat dan pengobral isu.

Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah menjadi kewajiban bagi semua orang yang memiliki kemampuan menulis dan menyampaikan pendapat untuk memahami bahwa

1. Hendaklah ia tidak berhenti dari mengkritik, sebab kritik itu kehidupan bagi fikrah (gagasan), ke-istiqamah an manhaj, dengannya yang buruk menjadi jelas di antara yang baik, berbagai keutamaan menjadi tersebar, dan berbagai keburukan dapat dikenali

2. Namun, jangan menyerang pribadi atau lembaga, juga jangan membuka hal-hal privacy terlebih lagi melanggarnya

3. Hendaklah berupaya semaksimal mungkin untuk komitmen dengan batasan, adab dan hal-hal yang diperbolehkan dalam mengkritik. Juga hendaklah memperhatikan iklim atau suasana umum yang ada di sekelilingnya, agar pendapatnya tidak disalahgunakan, apatah lagi dimaknai dengan selain dari yang dimaksud oleh sang pemilik pendapat, dan agar kritikan nya tidak dimanfaatkan oleh pemilik tendensi tertentu atau oleh penurut hawa nafsu

Komentar Ar-Ridha atas Makalah

Saya berpendapat: hendaklah seorang pengeritik selalu menempatkan ucapan Ibnu Taimiyah ini selalu ada di hadapan kedua matanya

Agar ia menyuguhkan kritikan demi memperbaiki, dan agar dapat menghindari aib dan sisi-sisi negatif … jadi bukan mengkritik dengan tujuan mengkritik

Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagian orang, selalu terlihat olehmu sebagai pengeritik, ia melupakan berbagai kebajikan berbagai kelompok dan berbagai jenis, ia hanya mengingat sisi-sisi keburukannya saja. Orang seperti ini seperti lalat, ia tinggalkan tempat yang sehat dan tidak sakit, dan mencolok pada luka dan tempat yang sakit. Hal ini pertanda jiwa yang buruk dan pribadi yang rusak

Kemudian, ketahuilah wahai saudaraku bahwa kata kritik mempunyai dua kemungkinan makna, yaitu:

a. Menampakkan berbagai sisi positif untuk kita kembangkan, dan

b. Menampakkan berbagai sisi negatif untuk kita hindari dan kita minimalisir …

Dan inilah yang disebut dengan istilah kritik membangun (konstruktif)

Kemudian … sungguh mengherankan seorang muslim yang sebelum mempelajari satu masalah agama sudah mempelajari bagaimana mencaci saudaranya sesama muslim!

Kemudian ia menginginkan keselamatan dan keberuntungan … kapan dia akan beruntung?

Kapan beruntung jika seseorang “melukai” suatu kaum, padahal bisa jadi mereka yang “dilukai” itu telah menempati tempatnya di surga semenjak beberapa tahun yang lalu?

Kapan beruntung seseorang yang memuaskan dada orang-orang kafir melalui cercaan yang ia tujukan kepada saudaranya sesama kaum muslimin?

Hanya saja, pada asalnya, kritik itu hendaklah membangun dan ikhlas semata karena Allah … supaya sebuah fikrah (gagasan) atau proyek yang menjadi sasaran kritik itu menjadi sempurna, dan dapat disuguhkan kepada publik dalam bentuknya yang paling sempurna

Komentar Raji al-Jannah Terhadap Makalah

Kritik membangun adalah hak asasi setiap aktivis pergerakan, tidak boleh ditinggalkan atau dibuat sembrono, sebagaimana kita juga berkewajiban untuk melatih diri kita terhadap kritikan itu … sehingga kita bisa menjadi sandaran bagi qiyadah kita dan penolong baginya. Sementara itu mata kita yang lain kita pergunakan untuk melihat keputusan qiyadah yang telah dibuat dan untuk menimbang berbagai urusan … kita berkewajiban untuk mendorong sang pengeritik yang bertujuan meluruskan, dan bukan yang bertujuan tasykik (menanamkan keraguan), kita dukung kritik yang bermaksud membetulkan, dan bukan yang bertujuan “melukai”, termasuk walaupun kita berbeda pendapat dalam masalah cara menyampaikannya, dan tampak jelas salahnya. Hanya saja, kita wajib mensyukuri, serta meminta kepadanya agar berkali-kali membolak-balik berbagai urusan supaya sampai kepada titik terdekat dari kebenaran …

Kritik bukanlah sebuah tujuan, dan tidak harus menjadi tujuan. Agar kritik bersifat membangun, terlebih dahulu harus ada satu langkah penting, yaitu: a. tabayyun (mencari titik terang), b. istidhah ar-ru’yah (meminta penjelasan tentang sebuah cara pandang), c. at-ta’arruf ‘ala mulabasat ittikhadz al-qarar mahall an-naqdi wa bawa’itsihi wa asbabihi (berupaya untuk mengetahui berbagai situasi dan kondisi keluarnya sebuah keputusan yang menjadi sasaran kritik, motivasi dan sebab-sebabnya).

Saat memenuhi prasyarat inilah kritik itu dapat diterima yang mampu menentukan posisi penyakit dengan tepat, dan memberikan deskripsi terapi secara professional … dan kita berkewajiban untuk segera membetulkan jalur yang kita tempuh serta meluruskan tujuan yang hendak kita tuju.

Sebagian saudara kita yang mulia, saking cinta dan kasmaran-nya kepada dakwah dan pergerakan, dan karena saking banyaknya berhadapan dengan berbagai serangan kritik yang destruktif, at-tasykik al-mutawashil (upaya penciptaan keraguan yang berkesinambungan), serta at-tajrih al-ladzi la yatawaqqaf (upaya “melukai” yang tiada henti), mereka terkena satu penyakit yang disebut hassasiyyah an-naqd (sensitifitas kritik), yaitu kepekaan yang menempatkan para pemberi nasihat bersama dengan orang-orang yang benci, menempatkan para kritikus yang membangun sejajar dengan para pengobral syubhat dan orang-orang yang gemar memperburuk citra, mereka itu menempatkan semuanya dalam satu keranjang, padahal seharusnya harus dipilah dan dibedakan. Dan pada firman Allah swt yang artinya: “Tidaklah mereka [ahli kitab] itu sama” (Ali Imran: 113) terdapat keteladanan dan contoh ideal …

Kita berkewajiban untuk melepaskan diri dari penyakit ini, dan menerima kritik – selama bersifat konstruktif- dengan dada lapang, serta mencari hikmah di mana pun berada, sebab ia adalah barang yang hilang dari kita, dan dia itu adalah sesuatu yang kita kehendaki.

Termasuk perkara penting dan mesti bagi mereka yang telah rela untuk ber-’amal jama’i adalah tidak ada lagi pendapat perseorangan setelah adanya qarar qiyadah … dalam arti, siapa saja yang ber-intima’ (bergabung) kepada sebuah jamaah hendaklah komitmen dengan berbagai qarar politik (policy) serta arah kebijakan yang dibuat oleh qiyadah … dan bukan hanya komitmen dengan qarar saja, namun, ia jadikan qarar itu sebagai milik dirinya dan ia membelanya … sebab, syura itu bersifat mengikat, dan ragam pendapat, setelah syura menjadi satu pendapat saja … jika seseorang melihat adanya kekurangan atau kesalahan dalam qarar yang dibuat; Hendaklah ia mencari titik kejelasan dan melakukan dan jika berkelanjutan dalam melihat ke tidak benaran qarar, maka ia berkewajiban untuk komitmen dengan ushul tanzhimiyah (pokok-pokok organisasi) dan dhawabith harakiyah (patokan-patokan pergerakan), serta menempuh kanal-kanal syar’i (legal) untuk memperjelas pendapat dan pandangannya … dan tidak ada sesuatu selain kanal-kanal syar’i (legal)

DR. Munir Al-Ghadhban mempunyai pernyataan yang sangat berharga dalam kitabnya yang berbobot: al-Manhaj al-Haraki fi as-Sirah al-Nabawiyah, beliau berkata: “Sering sekali para pemuda suatu jamaah yang bersemangat terdorong untuk melakukan kritik pedas dan tajam kepada qiyadah, di mana qiyadah mempergunakan hikmah dan tuadah (penuh perhitungan) dan menyelesaikan orang-orang yang menyimpang dari barisan dakwah dan orang-orang yang memberontak terhadapnya … akibat kritik pedas dan tajam ini, qiyadah berada dalam posisi di antara dua api; api mereka-mereka yang terlalu bersemangat yang menilai para qiyadah lamban dan meremehkan urusan, dan api para musuh yang selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk menjatuhkan tipu dayanya kepada jamaah. Jadi, para pemuda yang berada dalam barisan jamaah tidak memberikan udzur (alasan) kepada qiyadah dan musuh yang ada di luar pun tidak memberi belas kasihan kepadanya …

Betapa perlunya kita untuk membiarkan adanya kebebasan bagi qiyadah dalam berinteraksi dengan para pemudanya dan bersama para musuhnya, sebab, dia (qiyadah) itu lebih tahu tentang berbagai situasi yang dihadapi olehnya daripada kita, dan di antara hak kita adalah memperjelas pendapat kita, akan tetapi bukan termasuk hak kita untuk memaksakan pendapat yang kita miliki, dan bukan hak kita pula untuk menuduh qiyadah dalam suatu sikap yang diambilnya, sebab itu adalah haknya, dan bagus juga untuk kita ingat dan jangan sampai terlupakan dari pikiran kita bahwa di dalam qiyadah harakah terdapat ilmu dan ulama’ yang menjadikannya memiliki bashirah dalam tindak tanduknya …

Baca Selengkapnya...

Friday, November 6, 2009

Mengamalkan Teori Ukhuwah


Seseorang pernah menceritakan keheranannya terhadap teman-teman pengajiannya. “Saya bingung pada mereka, guru mereka ada di rumah sakit sudah beberapa pekan, namun mereka belum mengunjungi juga”, keluh teman tadi. “Apa anda tidak mengingatkan mereka tentang keadaan guru kalian”, ungkap saya. “Tidak tahulah saya pada mereka. Sepertinya mereka sibuk sekali pada urusannya masing-masing”, jawabnya lirih. “Apakah sesibuk itu mereka hingga seredup itu perasaan kemanusiaannya”, selidik saya.

Lain waktu orang itu berkesempatan mengunjungi rumah seorang temannya sambil membawa sedikit bingkisan. Rupanya dia sangat gembira sekali dengan kunjungannya itu. Dia berkata kepada orang tersebut: “Saya bersyukur sekali hari ini. Pertama, mendapatkan kunjungan dari antum, setelah lama tidak ada teman yang mengunjungi saya. Rasanya saya seperti terlempar dari pergaulan teman-teman. Tapi dengan kunjungan ini saya merasa ditarik kembali. Kedua, antum membawa bingkisan. Barang kali bingkisan itu kecil nilainya tapi sangat berarti bagi saya. Karena sudah beberapa hari keluarga saya hanya memakan ubi-ubian”. Paparnya. mendengar ucapan orang yang dikunjungi tersebut, dirinya terharu sekali, apalagi setelah mendengarkan pemaparan yang memilukan itu. Timbul pertanyaan besar: Kemana teman-temannya?.

Pengalaman diatas sebenarnya mungkin banyak sekali kita jumpai dengan beraneka ragam cerita. Semuanya akan berujung pada tanda tanya, sebegitu redupkah tali persaudaraan yang kita miliki saat ini. Sebegitu keringkah telaga ukhuwwah sesama kader dakwah.

Keadaan ini menjadi perhatian dalam diri kita, apakah ini sebuah fenomena ataukah kasuistik saja. Memang kita harus akui bahwa kekeringan ruhaniyah di hati kader akan berakibat kekeringan dalam muamalah antar mereka. Muamalah yang kering merupakan preseden buruk bagi pembentukan opini publik tentang manisnya ukhuwwah Islamiyah. Serta buramnya potret keindahan tatanan dan prilaku masyarakat Islam di masa lalu bila dipraktekkan pada zaman kiwari.

Potret ukhuwwah islamiyyah yang telah dilakoni para pendahulu menggores kesan mendalam yang teramat indah bagi peradaban manusia.

Bagaimana tidak?, seseorang rela mati demi saudaranya. Mereka lebih memilih lapar bagi dirinya daripada saudaranya yang lapar. Mereka lebih mendahulukan kepentingan orang lain dari kepentingan diri mereka sendiri meskipun mereka teramat membutuhkannya. Mereka sangat menjaga kehormatan dirinya ketimbang harus menjadi orang yang rakus lagi terhina.

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keingan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin) dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al-Hasyr: 9)

Berbicara ukhuwwah memang tidak sekedar teori melainkan nilai-nilai mulia yang mesti diimplementasikan dengan jiwa besar. Karena ia bukan hanya ucapan melainkan ia adalah amalan. Bahkan bukan sekedar amalan biasa tetapi amalan yang dikaitkan dengan kondisi keimanan pelakunya.

IMAN LANDASAN PERSAUDARAAN ISLAM

Ukhuwwah islamiyah tidaklah sama dengan cita rasa humanisme seperti yang difahami banyak orang. Sehingga mereka melakukan suatu kebaikan lantaran faktor humanisme, tidak dikaitkan dengan nilai-nilai moralitas yang tertanam dari benih ideologi samawiyah. Akan tetapi ukhuwwah islamiyyah merupakan manivestasi keimanan pelakunya. Keimanan yang stabil senantiasa memproduk amal khairiyah dan merealisasikannya dalam bentuk nyata tatkala bermuamalah dengan banyak manusia, sebaliknya keimanan yang labil dapat menghambat produktifitas amal tersebut.

Hubungan personal ketika bermuamalah pada sesama muslim memang tidak diikat pada simpul-simpul kesatuan aktifitas manusia dalam kesehariannya. Mereka tidak disatukan karena motivasi materi, kesukuan, kondisi temporer yang mereka alami. Melainkan hubungan mereka diikat oleh keimanan. Keimananlah yang menjadi pijakan muamalah mereka. Keimanan ini melandasi hubungan mereka yang teramat indah itu. Wihdatul aqidah itulah jawabannya. Menjadi kewajiban setiap kader untuk membangun bangunan keimanan yang kokoh agar dapat merefleksikannya dalam berinteraksi antar sesama.

Ketika banyak orang mengaitkan sikap persaudaraan pada nasab, kesukuan, kedaerahan serta ashabiyah lainnya. Rasulullah SAW. menepisnya dengan mengatakan: “Salman adalah keluargaku”.
Nyata betul prinsip Islam ini. Tidak tidak dapat dibatasi oleh dinding setebal apapun. Karena keimanan yang menjadi landasannya juga tidak dapat dibatasi oleh batasan apapun. Karena itu pancaran persaudaran berasal dari cahaya keimanan si pemiliknya.

HASASIYAH (KEPEKAAN) UKHUWWAH

Keimanan yang selalu bersinar terang akan menyalakan kepekaan ukhuwwah. Hasasiyah ukhuwwah ini akan semakin dinamis bila dilakukan dua arah. Sehingga semua pihak menahan diri untuk hanya menikmati ukhuwwah orang lain. Akan tetapi masing-masing pihak berupaya untuk dapat menyenangkan khalayak sekitarnya. Menjadi kepuasan bagi dirinya apabila kelebihannya dapat dicicipi oleh banyak orang.

Lihatlah sejarah manusia-manusia pilihan yang telah mengukir indahnya peradaban orang-orang yang beriman. Mereka tidak bakhil pada orang lain akan kelebihan dirinya. Mereka tidak pula celamitan pada kebaikan orang lain. Mereka merasa bahagia apabila orang lain merasakan kebaikannya. Dan mereka terhina apabila orang lain terepotkan lantaran dirinya .

Pagi-pagi Rasulullah SAW. tersenyum melihat seorang sahabat yang telah membuktikan sikap ukhuwwahnya pada saudaranya yang lain. Beliau mendapatkan informasi bahwa sahabat tersebut menjamu tamunya dengan hidangan yang diperuntukkan keluarganya. Agar tamunya berselera menyantap hidangannya, dia matikan lampu rumah sehingga makanan yang disajikan tidak tampak pada sang tamu. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan rasa sungkan tamunya untuk menyantap makanan tersebut. Lantaran porsi hidangan yang tersedia hanya cukup untuk seorang. Untuk menyenangkan hati tamunya, tuan rumah berpura-pura sedang menyantap makanan tersebut bersama-sama dengan lahap. Sikap inilah yang mendapatkan senyuman malaikat dan membuat senang hati Rasulullah SAW.

Juga ketika Rasulullah SAW. membangun Madinah sebagai sentral aktifitas muslim, beliau mempersaudarakan sahabat Muhajirin dan Anshar. Diantaranya Abdurrahman bin Auf RA. dipersaudarakan dengan Saad bin Rabi’i RA. Dengan hati yang tulus Saad bin Rabi’ mengatakan: “Aku memiliki beberapa perniagaan silahkan ambil yang kau cenderungi. Dan aku mempunyai beberapa isteri silahkan lihat mana yang menarik hatimu. Akan aku ceraikan dia dan nikahilah setelah selesai masa iddahnya”. “Semoga Allah senantiasa memberkahi dirimu dan keluargamu, terima kasih atas penawaranmu. Akan tetapi lebih baik bagiku tunjukkanlah padaku dimana pasar?”. Jawab Abdurrahman bin Auf RA.

Betapa manisnya kehidupan orang-orang yang beriman. Mereka dapat memposisikan dirinya secara tepat. Mereka dapat merasakan kesusahan dan kebahagiaan saudaranya. Mereka tahu betul apa yang mesti dilakukan untuk orang lain. Mereka merasa bersedih apabila tidak mampu berbuat banyak untuk orang lain.

MENUMBUHKAN PERASAAN KOLEKTIF

Seusainya perang Badar petugas logistik mengamati pejuang-pejuang Islam yang terluka. Sambil diobati juga diberikan makan atau minum yang dibutuhkannya. Saat sedang melayani orang-orang yang memerlukan bantuannya. Petugas ini mendengar ada suara orang yang meminta air karena rasa haus yang mencekik. Petugas tersebut mendatanginya. Namun ketika akan dituangkan pada mulut orang itu terdengar pula suara orang yang juga berhajat pada air. Lalu orang pertama yang membutuhkan air itu berujar pada petugas logistik itu. “Berikan air itu padanya, dia lebih membutuhkannya ketimbang diriku!”. Maka petugas itu segera menemui orang kedua itu. Akan tetapi ketika akan diminumkan air, orang kedua ini mendengar ada arang lain yang juga membutuhkannya. Orang keduapun mengatakan, “Berikan air itu padanya dia lebih butuh daripada saya”. Petugas itupun segera mencari-cari sumber suara tadi. Rupanya orang ketiga yang membutuhkan air ketika ia jumpai sudah meninggal dunia. Secepat kilat peetugas itu mendatangi orang kedua tadi. Akan tetapi orang keduapun telah meninggal dunia. Iapun berlari menjumpai orang pertama. Begitupun orang pertama, ia dapati telah meninggal dunia.

Itulah kisah manusia yang diabadikan sepanjang sejarah. Mereka ditautkan oleh perasaan kolektif pada dirinya masing-masing. Perasaan bahwa saudaranya adalah dirinya. Merasa sakit apabila saudaranya sakit. Dan bahagia bila saudaranya bahagia. Saudaranya adalah cermin sejati bagi dirinya. Perasaan kolektif ini bagaikan saraf yang memadukan aneka ragam organ dalam tubuh. Dengan itu setiap organ mempunyai investasi pada satu gerakan organ lainnya.

Ukhuwwah merupakan wujud perasaan kolektif dalam bermuamalah antar manusia. Ia menyatukan irama hati dari bermacam-macam orang. Ia akan menjadi harmonika yang merdu dalam sebuah simponi. Alunan simponi yang indah ini dapat menjadi suatu kekuatan besar dalam membangun umat.

Umar bin Khaththab menangis terisak-isak tatkala ia mengetahui ada rakyatnya dirundung kelaparan. Umar mengangkat sendiri bahan pangan untuk rakyatnya yang sedang menderita.

Khalifah Sulaiman Al Manshur tidak bisa berdiam diri ketika ia mendengar ada seorang muslimah yang teraniaya di Byzantium. Khalifah mengajak rakyat untuk membebaskan wanita tersebut.

Hasan Al Banna memberikan sokongan yang besar atas perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonial Belanda. Al Imam menerima kunjungan para diplomat Indonesia dengan antusias dan mengajak para pemimpin Mesir untuk turut mendukungnya. Demikianlah pengakuan M. Hasan Zein penulis Diplomasi Revolusi di Luar Negeri.

Itulah perasaan kolektif menjadi gelombang besar yang dapat menggerakkan sebuah kekuatan umat. Akan tetapi perasaan kolektif ketika manusia hidup dengan sikap dan gaya individualistik. Sikap ini menjadi barang langka yang jarang ditemukan.

Sikap individualistik mendorong manusia bersikap acuh tak peduli pada urusan orang lain. Bahkan pada urusan yang bersifat hidup matinya seseorang. Tidak mengherankan pada pergaulan masyarakat di hari ini tidak lagi mempedulikan apa yang dialami orang lain. Sebelah rumahnya sedang kesusahan ia tidak mengetahuinya. Tetangganya sedang merenggang nyawa ia tidak mendengarnya.

Tidaklah aneh saat ini apabila orang mengenal tetangganya bukan ketika bercengkerama di rumahnya, melainkan ia mengetahui tetangganya itu di tempat yang jauh dan terjadi pada kurun waktu yang cukup lama setelah bertetangga.

Dalam sebuah pesta besar, ada seorang pria terheran-heran pada kenalannya di pesta itu. Pasalnya, kenalan barunya itu adalah tetangga sebelah rumahnya. Padahal mereka telah lama hidup saling bertetangga. Aneh memang tapi begitulah gaya hidup masa kini.

Islam memandang buruk sikap demikian. Karena perasaan kolektif menjadi bukti keimanan. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjalin perasaan kolektif ini. Ia adalah nadi dari geliat umat ini
Rasulullah SAW. bersabda:

“Tidak beriman salah seorang diantaramu apabila tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagi kader dakwah perasaan kolektif ini tidak boleh berhenti denyutnya. Berhentinya akan berdampak pada lambannya mobilitas kader untuk mengemban tugas mulia. Juga akan kehilangan kendali arah sehingga alur roda itu berputar tanpa arah.

Setiap kader wajib merawat dan meningkatkan perasaan kolektif ini agar ia tumbuh, berkembang dan berbuah.

UKHUWWAH, BAHASA AMAL

Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan kisah tentang tukang sol sepatu yang menunda pergi hajinya karena uang yang dipersipakan untuk berangkat ke Baitullah Al Haram diberikan pada tetangganya yang kelaparan. Namun banyak teman-temannya yang berangkat menunaikan ibadah haji melihat tukang sol sepatu itu berada di tanah suci. Dalam mimpi Ibnul Mubarak rahimahullah, tukang sol sepatu itulah orang yang termasuk diterima ibadah hajinya oleh Allah SWT.

Kisah diatas tentu bukan persoalan maqbulnya ibadah haji yang dilakukannya. Akan tetapi yang saya maksudkan disini adalah sikap arif tukang sol sepatu itu. Sikapnya yang penuh perhatian pada nasib tetangganya, nasib saudaranya sesama muslim. Ia rela menyerahkan harta yang ia kumpulkan dari jerih payahnya berbulan-bulan kepada saudaranya sesama muslim.

Begitulah bahasa amal. Ia merupakan amalan bukan sekedar teori. Artinya sikap itu dilakukan secara refleks tidak perlu kalkulasi yang amat teliti.Tukang sol sepatu itu tahu betul apa yang mesti diputuskan pada saat-saat yang tepat.

Ukhuwwah adalah bahasa amal bukan bahasa teori atau konsep. Sikap ini pancaran kebiasaan yang berasal dari sinar keimanan. Sinar keimanan yang lahir dari pembiasaan watak dan prilaku para pemiliknya. Karena itu, sikap ini tidak dapat dihambat oleh berbagai kalkulasi material. Ia begitu lancar untuk bertindak cepat memutuskan pilihan-pilihan sulit baginya. Ia tidak mempedulikan keuntungan apa yang bakal diperoleh, malah ia rela mendapatkan kerugian bagi dirinya asalkan saudaranya meraih kebahagian atas sikapnya. Subhanallah, teramat indah bahasa amal itu.

DARI MANA MEMULAINYA

Seorang teman berbinar-binar matanya menyiratkan rasa haru dalam hatinya. Ia mengatakan baru saja menerima telepon dari kawannya yang menanyakan kabar berita tentang diri dan keluarganya. “Saya senang dan terharu, sekian lama saya tidak pernah mendengar berita kawan saya. Tiba-tiba, kali ini dia menyampaikan kabar beritanya dan menanyakan keadaan saya. Rasanya tali yang putus kembali tersambung”. Ungkapnya gembira.

Bila kita melihat cerita pengalaman seorang teman tadi. Sepertinya sederhana sekali untuk menyambung lagi tali persaudaraan yang nyaris putus. Dengan menanyakan kabar teman di seberang telepon hubungan itu kembali hangat. Kehambaran itu sirna dengan segera.

Rasulullah SAW. memberikan resep sederhana untuk dapat mengikat kembali tali-tali yang putus hingga dapat menghimpun hati-hati yang retak. Beliau mengatakan:

“Sebarkanlah salam, berikanlah makan dan dirikanlah shalat malam”.

Resep ini memang terkesan sangat simple.

Pertama, menyebarkan salam. Dalam kegiatan ini bisa dijabarkan dengan bermacam-macam perlakuan, diantaranya bertanya bagaimana kabarnya, keluarganya, isteri dan anaknya?. Baik-baikkah mereka. Bagaimana mereka selama ini. Adakah yang sakit. Adakah yang mendapatkan musibah atau adakah diantara mereka yang telah dianugerahi Allah kebaikan yang dapat menyenangkan orang banyak. Dapat saling mendoakan keadaan masing-masing agar meraih kemudahan dalam menjalani aktifitas hariannya serta mendapatkan karunia dari Allah sehingga meredam rasa berat dalam menerima ujian dan cobaan hidup. Dan banyak lagi segudang ungkapan untuk memulai menyebarkan salam antar sesama kader.

Inti masalahnya adalah bagaimana menyebarkan salam itu menjadi sebuah media komunikasi antar sesama kader agar tetap terjalin dengan baik, sehingga mereka tidak kehilangan informasi dan kendali arah. Komunikasi yang harmonis dibangun atas dasar hubungan manusiawi yang utuh dari berbagai dimensi bukan pada hubungan formalitas apalagi hiasan bibir semata.

Menjalin komunikasi yang harmonis ini menjadi kebutuhan asasi masyarakat modern, karena dengan komunikasi ini manusia menemukan eksitensi dirinya sebagai makhluk yang multi dimensional. Makhluk yang dihargai oleh lingkungan sekitarnya. Saat ini banyak kita temukan orang yang kehilangan rasa, termasuk rasa dalam berkomunikasi ketika bergaul antar sesama. Makanya banyak orang berupaya mencari tempat kongkow-kongkow hanya sekedar mendapatkan sebuah tali komunikasi yang tidak diikat oleh formalitas kehidupan. Sehingga mereka bisa berbicara dan tertawa lepas yang selama ini tidak mereka temukan karena masih dirasakan terdapat dinding pembatas hati mereka.

Komunikasi yang harmonis bagi masyarakat barat amat mahal, karena selama ini mereka menjalani kehidupan ini secara mekanik. Melakoni satu babak kehidupan ke babak berikut bagai mesin yang rutin berputar. Tanpa seni yang menyentuh ruang hati manusia yang paling dalam. Kondisi ini membuat mereka berupaya untuk menemukan format baru dalam berkomunikasi dengan sesama. Diantaranya mereka mengadakan pasar loakan setiap hari libur sebagai sarana mereka berkomunikasi. Mereka bisa saling tawar menawar suatu harga barang yang selama ini mereka jualbelikan dengan mesin atau robot. Mereka dapat saling menyapa untuk menanyakan dimana tinggalnya, dari mana asalnya, sudah berapa lama tinggal di daerah itu dan sapaan lainnya. Dari saling menyapa itulah hubungan yang kaku diantara mereka mencair seketika, akhirnya mereka begitu akrab satu sama lainnya.

Abbas Assisi salah seorang murid Hasan Al Banna selalu membuka komunikasi dengan banyak orang yang ia jumpai. Melalui komunikasi itulah ia membuka peluang dakwah di hati mitra bicaranya. Bahkan pernah ia kesulitan dengan apa memulai berkomunikasi kepada orang yang ada di hadapannya. Namun ia menemukan juga jalan ke arah itu. Yakni ia menginjak kaki orang tersebut sehingga orang itu memarahinya. “Apa matamu buta?, mengapa kamu injak kaki saya”, hardik orang tersebut. Abbas Asisi menjawab, “Maaf tuan, mata saya memang rabun sehingga saya tidak begitu jelas melihatnya”. Dengan pengakuan itu orang tersebut malah meminta maaf atas ucapannya tadi lalu perbincangan akhirnya berlanjut pada tema-tema lainnya yang kemudian menyentuh tema-tema dakwah.

Begitulah mumpuninya komunikasi dalam bergaul antar sesama yang dapat meluluhkan hati-hati yang keras membatu. Orang bijak mengatakan, ‘berkomunikasilah karena ia seni kehidupan’.

Seorang sahabat merasa tersanjung ketika Rasulullah SAW jalan beriringan di sampingnya sambil beliau menanyakan keadaannya. Sikap ini menunjukkan betapa manisnya pergaulan yang dilakukan Rasulullah SAW. kepada sahabatnya begitupun sebaliknya.

Media berkomunikasi saat ini sangat banyak apalagi kemajuan teknologi dapat menunjang pelaksanaannya. Berkomunikasi dapat dilakukan melalui silaturrahim atau mengunjunginya. Dengan mengunjungi kita dapat menuangkan berbagai suasana hati. Dapat saling bertatap muka, saling bertegur sapa dan saling mengekspresikan ruat wajah yang dapat disaksikan oleh mitra bicara.

Berziarah atau mengunjungi saudaranya yang muslim merupakan sebagian tanda keimanan. Karena ia adalah hak sesama muslim. Dengan mengunjungi kita dapat berkomunikasi dan berbagi perasaan, pengalaman, pelajaran serta berbagi lainnya.

Rasulullah SAW. bersabda :

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia silaturrahim”. (HR. Muslim)

Dan komunikasi dapat pula dilakukan lewat piranti teknologi canggih sekarang ini, bisa melalui telepon, internet, email, surat atau media-media lainnya.

Kedua, memberi makan (hadiah). Hadiah pertanda penghargaan dan kasih sayang. Ia wujud atensi yang dalam. Karenanya hadiah jangan dipandang dari nilai nominalnya akan tetapi lihatlah bahwa adalah ekspresi kecintaan.

Rasulullah SAW. bersabda:

“Salinglah berbagi hadiah niscaya kalian akan saling mencintai”. (HR. Tirmidzi)

Hadiah sebagai media mengungkapkan kata hati pada seseorang dalam kondisi tertentu. Maka tidaklah naif memberikan hadiah yang sepertinya tidak begitu bernilai. Sebab ia adalah bentuk visualisasi dari atensi yang besar. Oleh karena itu tidak perlu merasa malu untuk memberikan hadiah yang tidak mewah atau mahal. Malah dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ada seorang sahabat Nabi SAW. yang memberikan hadiah berupa sekerat kurma kepada saudaranya, Nabi SAW. mendengar berita itu tersenyum bahagia. Duhai mulianya ia yang mau memberikan hadiah meski kondisi hidupnya dalam kesulitan.

Memang alangkah bagusnya bila mampu memberikan hadiah yang menarik serta bernilai lebih. Apalagi hadiah yang diberikan kepada saudaranya sangat ia sukai.

Firman Allah SWT.

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Ali Imran: 92)

Ketiga, melaksanakan shalat malam (doa). Persoalan hati manusia adalah persoalan yang penuh misteri. Hati merupakan ruang yang luas lagi dalam. Ia bagaikan samudera lepas. Sedikit sekali manusia yang dapat menyelami samudera hati.

Muamalah antar manusia juga bagian dari gerakan hati. Ia akan terkait tatkala hatinya sudah tertambat. Ia akan terurai ketika hatinya liar. Permasalahannya tampaknya rumit dan jelimet. Akan tetapi menjadi sederhana ketika conecting langsung pada pemiliknya. Dialah Allah Pemilik hati manusia yang mampu membolak-balikan gerakan hati secara dratis.

Menjalin hubungan langsung pada si Empunya hati manusia secara rutin dapat menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu menghimpun aneka ragam hati manusia. Bahkan Dia dapat mengendalikan hati-hati yang liar. Hubungan dengan Sang Penakluk Hati diantaranya dapat diwujudkan dengan panjatan do’a untuk diri dan saudaranya.

Do’a menjadi media perantara untuk merajut hati yang retak. Melancarkan sumbatan-sumbatannya. Untuk mencapai sasaran tersebut, Hasan Al Banna mengajak para pengikutnya untuk membaca do’a Rabithah selepas mengikuti majelis pertemuannya. Sebagai upaya mendayagunakan kekuatan do’a untuk mengikat dan menyatukan hati manusia. Disamping itu agar hati yang kering lagi tandus menjadi basah dan subur.

Semua resep sederhana diatas akhirnya berpulang pada satu kalimat. Ibda’ binafsik. Mulailah dari darimu sendiri. Artinya setiap individu segera untuk memulainya, menjadi pelopor. Tidak perlu menunggu orang lain memberi aba-aba untuk memulainya. Apalagi menanti siapa yang akan memulainya. We are first begining. Wallahu a’lam.

Baca Selengkapnya...

Template by - Abu Syamil