Saturday, November 7, 2009

Etika Timbal-balik Antara Pemimpin & Bawahan Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah yang Shahih

Oleh: Aba AbduLLAAH

Assalamu ‘alaykum,

Segala puji adalah hanya layak bagi ALLAH, kami memuji-NYA, meminta pertolongan kepada-NYA & meminta ampunan, dan kami berlindung dari keburukan hawa nafsu kami dan dari kejelekan amal-amal kami, barangsiapa diberi hidayah oleh ALLAH maka tiada yang dapat menyesatkannya & barangsiapa yang disesatkan ALLAH maka tiada yang dapat memberinya hidayah…

Dan kami bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali ALLAH, Yang Maha Esa & tiada sekutu bagi-NYA, dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah Nabi & rasul-NYA. Kamipun bersaksi sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabuLLAAH & sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi SAW, dan seburuk-buruk urusan adalah yang dibuat-buat, dan semua yang dibuat-buat itu adalah bid’ah & semua bid’ah adalah sesat & semua kesesatan adalah di neraka…

Ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’anakumuLLAAHa jami’an,

Menyambut mulai masuknya sebagian du’at ke marhalah daulah & makin banyaknya ikhwah wa akhwat yang menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan (baik eksekutif maupun legislatif), dan semakin hari semakin banyak amanah kekuasaan yang diujikan oleh ALLAH SWT untuk dipegang oleh para du’at dari harakah ini, maka ada beberapa dhawabith kepemimpinan Islam yang merupakan ashalah da’wah kita, yang hendaknya selalu dijaga & diperhatikan..

Agar dijadikan sebagai Ma’alim Fi Thariq (Rambu-rambu dalam Perjalanan), demikian kata Sayyid Quthb -ja’alahuLLAAHu syahidan- atau sebagai Nurun ‘ala Darb (Cahaya dalam Perjalanan), demikian kata Syaikh Ibni Baaz -rahimahuLLAAH-; sehingga kita tidak menjadi ghurur (lupa diri), ataupun terjadi tamyi’ (pengenceran) terhadap nilai-nilai dakwah ini saat mengemban amanah memimpin ummat ini insya ALLAH, aamiin ya RABB…

Oleh sebab itu ana berusaha membuat tulisan ini untuk mencoba menjelaskan secara singkat Etika Kepemimpinan dalam Islam, serta Etika yang Saling Timbal-Balik, apa yang harus dilakukan & dipenuhi oleh seorang qiyadah (baik qiyadah dakwah maupun qiyadatul ummah), dan apa saja yang wajib dipenuhi oleh seorang jundiyyah (baik junudu dakwah maupun junudu daulah), sehingga mudah-mudahan kita selalu berada di dalam jalur yang benar & berhak mengharapkan ridha ALLAH & Jannah kelak, sebagai pemimpin ummat yang adil yang paling pertama akan diberi naungan oleh ALLAH SWT di yaumil Mahsyar kelak, aamiin ya RABB…

Wa ufawwidhu amrii ilALLAAH innaLLAAHa bashiirun bil ‘Ibaad,

Abi AbduLLAAH

AL-ADAAB AL-MUTABAADILAH BAYNA AL-QIYAADAH WAL JUNDIYYAH FII DHAU’IL KITAABI WAS SUNNAH

(Etika Timbal-balik Antara Pemimpin & Bawahan Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah yang Shahih)

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat kelak.[1]”

1. KEPEMIMPINAN DALAM LUGHAH:

a. Imam: Asal katanya ‘Amama’ karena ia: Berada di depan (amam), mengasuh (ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma). Berkata Imam Al-Jauhary : Imam adalah orang yang memberi petunjuk (yuqtada)[2].

b. Amir: Yang memberi perintah (seperti dalam ayat : Amarna mutrafiha), juga sesuatu yang mengagumkan (seperti dalam ayat : laqad ji’ta syai’an imra)[3].

c. Waliyy: Dekat, akrab (Jalasa mimma yali=duduk dengan orang didekatnya); tempat memberikan loyalitas (ALLAHumma man waliya min amri ummati)[4].

d. Qadah/qiyadah: Penggiring ternak, orang yang memberi petunjuk, pemandu atau penunjuk jalan[5].

e. Khalifah: Para fuqaha’ mendefinisikannya sbg suatu kepemimpinan umum yg mencakup urusan keduniaan & keagamaan, sbgm yg dilakukan oleh Nabi SAW yg wajib dipatuhi oleh seluruh ummat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan al-Imamah, karena inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk memimpin agama & keduniaan[6]. Menurut Ibnu Khaldun yaitu penanggungjawab umum dimana seluruh urusan kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah kembali kepadanya[7].

2. KEPEMIMPINAN DALAM AL-QUR’AN:

a. Memiliki Loyalitas yang Mutlak: “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi Pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.[8]”

b. Kuat & Amanah: “Berkata salah seorang diantara anaknya (Syu’aib) : Wahai ayahanda, jadikanlah ia sebagai pegawai, karena sebaik-baik pegawai adalah yang kuat lagi bisa dipercaya.[9]”

c. Sehat & Berilmu: “…Sesungguhnya ALLAH SWT telah memilihnya (Thalut) sebagai rajamu, karena ia memiliki kekuatan fisik dan berilmu. Sesungguhnya ALLAH memberikan kekuasaan-NYA kepada siapa yang dikehendaki-NYA, sesungguhnya IA Maha Luas (ilmu-NYA) lagi Maha Mengetahui.[10]”

d. Merupakan Ujian ALLAH SWT: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesungguhnya AKU akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim.[11]“

e. Merupakan Tanda Ketaqwaan: “Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.[12]”

3. KEPEMIMPINAN DALAM AS-SUNNAH:

a. Jujur dan Tidak Menipu: Nabi SAW melaknat pemimpin yang dipercaya untuk mengurus urusan ummat lalu ia malah menipu atau menyengsarakan mereka, sebagaimana dalam sabdanya SAW : “Ya ALLAH, siapa saja yang diberikan kekuasaan untuk mengurusi ummatku lalu ia menyengsarakan mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang diberi kekuasaan lalu ia mempermudah mereka, maka mudahkanlah ia.[13]” Dan Islam menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinan ummat maka ALLAH SWT tidak akan memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat kelak[14].

b. Adil & Amanah: Islam menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang tertinggi, yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan. Diantaranya ia termasuk kelompok pertama yang dinaungi oleh ALLAH SWT diantara 7 kelompok utama yang dinaungi-NYA pada Hari Kiamat kelak[15]; Iapun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di Hari Kiamat[16]; Dan pemimpin yang demikianlah yang akan senantiasa dicintai dan didoakan oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya[17]; Sehingga dalam salah satu haditsnya, nabi SAW sampai menyatakan bahwa pemimpin yang demikian termasuk 3- golongan manusia yang paling utama dan paling berhak masuk Jannah, disamping orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta[18].

c. Tidak Wajib Taat pada Pemimpin yang Memerintahkan Maksiat: Oleh karena itu di dalam Islam pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan diataslah yang berhak dan wajib untuk ditaati (Tafsir QS An-Nisaa’, 4:59), syarat taat pada pemimpin dalam ayat tersebut adalah mu’allaq/tergantung pada apakah ia taat pada ALLAH SWT dan Rasul SAW atau tidak, dimana cirinya adalah ia senantiasa kembali kepada ALLAH SWT dan rasul-NYA SAW jika terjadi perbedaan pendapat ataupun perselisihan) dan bukan pemimpin yang memiliki sifat sebaliknya, jika ia memiliki sifat sebaliknya maka tidak wajib sama sekali untuk didengar dan ditaati[19].

d. Tidak ada Batasan Ras/Kebangsaan: Tentang siapa pemimpin itu Islam tidak membatasi ia dari ras dan kelompok apapun, asal mengikuti dan menegakkan syariat maka wajib ditaati, sekalipun ia adalah seorang yang berkulit sangat hitam yang kepalanya bagaikan kismis (saking hitamnya)[20]. Kendatipun demikian, afdhal memilih pemimpin disesuaikan dengan suku/kebangsaan rakyat yg dipimpinnya[21].

e. Pemimpin Wajib Memilih Bawahan yang Jujur: Seorang pemimpin yang adil tentunya akan memilih pembantu-pembantu, wakil-wakil dan menteri-menteri yang adil pula. Tidak mungkin seorang yang baik (tanpa keterpaksaan) akan mengangkat atau memilih wakil dan menteri yang merupakan para musuh ALLAH SWT, seperti para koruptor, kaum oportunis apalagi para kolaborator asing[22]. Benarlah pernyataan pemimpin abadi kita nabi Muhammad SAW : “Jika ALLAH SWT menghendaki kebaikan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya menteri-menteri yang jujur, (yaitu) yang jika ia khilaf maka selalu mengingatkan dan jika ia ingat maka selalu dibantu/didorong. Dan jika ALLAH SWT menghendaki keburukan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya para menteri yang jahat. Jika penguasa itu lupa, maka tidak diingatkan dan jika ia ingat maka tidak didorong/dibantu.[23]”

4. KEWAJIBAN TAAT PADA PEMIMPIN YANG ISLAMI:

a. Wajib Taat pada Pemimpin yang Islami: Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yg taat kepadaku maka ia telah taat kepada ALLAH, dan barangsiapa yg tidak taat kepadaku maka berarti tidak taat kepada ALLAH. Barangsiapa yg taat kepada Pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yg tidak taat kepada pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah tidak taat kepadaku.[24]”

b. Ketaatan tersebut tetap Berlaku Walaupun Di Satu Sisi Seolah Mengorbankan Kepentingan sebagian Rakyatnya: Dari Abu Hunaidah, Wa’il bin Hajar ra berkata : Bertanya Salmah bin Yazid al-Ju’fiy pd Rasulullah SAW : Wahai Nabi Allah … bgm pendptmu jk ada seorg pemimpin yg selalu meminta ketaatan dari kami tapi tidak memberikan hak kami, apa yg anda perintahkan pd kami ? Maka Rasulullah SAW memalingkan wajahnya, mk Salmah bertanya lagi yg kedua kali, maka jawab Rasulullah SAW : Dengarlah oleh kalian semua dan taatilah ia, karena bagi kalian pahala ketaatan kalian dan baginya dosa ketidakadilannya.[25]”

c. Dosanya Memisahkan Diri dari Ketaatan pada Pimpinan yang Islami: Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia kelak akan bertemu dengan ALLAH SWT tanpa dapat mengemukakan argumentasi apapun.[26]” Dalam hadits lainnya: “Barangsiapa meninggalkan ketaatan lalu memisahkan dirinya dari Jama’ah lalu ia meninggal maka ia mati Jahiliyyah.[27]” Perhatikan baik-baik dalam hadits tersebut disebutkan Al-Jama’ah, yg maksudnya Jama’ah Islam, bukan sembarang pemerintahan, (lihat pula judul bab pada takhrij hadits tersebut di dalam Shahih Muslim).

5. BENTUK-BENTUK KETAATAN:

a. Mendengarkan dan memahami perintah dengan sebaik-baiknya, memohon penjelasan sampai jelas kemudian melaksanakannya dengan tidak menunda-nunda dan dengan sebaik-sebaiknya. Lihat kisah Ali bin Abi Thalib ra dalam perang Khaibar dalam Shahih Bukhari[28].

b. Melipatgandakan kesabaran saat melaksanakan perintah tersebut, ikhlas dan tidak menguranginya atau menambahinya sedikitpun. Lihat kisah Jundub bin Makits al-Juhni saat dalam Sariyah[29].

c. Melaksanakan dengan segera perintah tersebut, walaupun tidak sesuai dengan pendapatnya atau berbeda dengan keinginannya, lihat kisah Hudzaifah bin Yaman saat perang Ahzab[30].

d. Saling memberi dan menerima nasihat. Lihat kisah Umar bin Khattab ra saat perjanjian Hudhaibiyyah dengan Nabi SAW & Abubakar ra[31].

e. Meminta izin dalam setiap urusan pentingnya atau sebelum mengambil keputusannya[32].

WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab…

Catatan Kaki:

[1] HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352 no. 3408

[2] Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, XII/22

[3] Lisanul Arab, III/370

[4] Ash-Shihah fil Lughah, Al-Jauhary, I/22

[5] Al-Qamus Al-Fiqhi, I/388

[6] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal.3

[7] Al-Muqaddimmah, Ibnu Khaldun, hal.180

[8] QS Al-Maidah, 5/55-56

[9] QS Al-Qashshash, 28/26

[10] QS Al-Baqarah, 2/247

[11] QS Al-Baqarah, 2/124

[12] QS Al-Furqan, 25/74

[13] HR Muslim no. 1828

[14] HR Abu Daud no. 2948; Tirmidzi no. 1332; al-Hakim IV/93-94; menurut Imam al-Mundziri sanad-nya shahih karena ada syahid dari hadits Muadz ra yang diriwayatkan oleh Ahmad V/238-239.

[15] HR Bukhari II/119 dan 124; Muslim no. 1031

[16] HR Muslim no. 1827; Nasa’i VIII/221; Ahmad II/160

[17] HR Muslim no. 1855

[18] HR Muslim no. 2865

[19] Bukhari XIII/109; Muslim no. 1839; Abu Daud no. 2626; Tirmidzi no. 1707; Nasa’i VII/160

[20] HR Bukhari XIII/108

[21] HR Bukhari, XXII/44, bab Al-Umara’u min Quraisy; Muslim, IX/333-338

[22] QS Al-Mumtahanah, 60:1

[23] HR Abu Daud no. 2932, dengan sanad yang baik menurut syarat Muslim; juga Nasa’i VII/159 dengan sanad yang shahih

[24] HR Bukhari, kitab al-Jihad, bab Yuqatilu min Wara’il Imam, juz-IV, hal.61

[25] HR Muslim, bab Fi Tha’atil Umara’ wa in Mana’u, IX/384

[26] HR Muslim, IX/393

[27] HR Muslim, kitab al-Imarah, bab Wujub Mulazamatin Jama’atil Muslimin ‘Inda Zhuhuril Fitan, juz-III hal.1476

[28] Fathul Bari’ , Ibnu Hajar, IV/57,58; V/22,23,171

[29] Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, IV/222,223

[30] Shahih Muslim, III/1414, 1415; Musnad Ahmad, V/392,393

[31] Sirah Nabawiyyah, Ibnu Katsir , III/218, 319

[32] QS An-Nur, 24/62

0 comments:

Post a Comment

Template by - Abu Syamil