Saturday, November 7, 2009

Mengkritik Ikhwan; Antara Mubah (boleh), Mutah (Peluang) dan Munakh (Suasana)

Oleh: DR. Anwar Hamid

Kritik, dalam keadaan apa pun, berguna, termasuk kalaupun tendensius. Ia menjadi pertanda sehat, termasuk kalaupun tidak obyektif. Pernyataan ini bukan ajakan untuk tidak obyektif dalam mengkritik, atau untuk memberikan justifikasi kepada orang-orang yang mempunyai tendensi, namun, pernyataan ini adalah seruan untuk menerima kritik sebagai prinsip dan tidak memerangi serta menyerangnya saat terjadi cacat dalam cara mengkritik atau aib dalam pelaksanaannya atau karena di salah gunakan oleh orang yang tendensius

Kemestian Kritik

Kritik merupakan ciri masyarakat, apa pun budayanya. Dan wanita-wanita di kota berkata: “Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya)! Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam …” (Yusuf: 30). Ciri ini lalu ter transformasi ke masyarakat yang mapan dan keluarga-keluarga besar di desa-desa dan kampung-kampung, terwujud dalam bentuk kritik terhadap perilaku dan tindakan yang tidak lurus, dan terkadang ada intervensi tendensi, hawa nafsu, dendam dan dengki yang merubah kritik menjadi isu tendensius. “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat … (An-Nur: 19). “…sedang di antara kamu ada orang-orang yang menjadi telinga bagi mereka… (At-Taubah: 47). Tidak diragukan lagi bahwa kritik ini dengan seluruh kebaikan dan keburukannya:

- Mendorong manusia untuk berhati-hati dalam bertindak.

- Mencegah mereka untuk meninggalkan banyak perilaku karena takut terkena kritikan.

Terkadang kritik dilakukan terhadap segala hal yang baru dalam masyarakat, meskipun hal yang baru itu bermanfaat. Termasuk dalam hal ini adalah penentangan kepada para rasul dan risalah yang dibawanya. “Dan mereka berkata: “Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?…” (Al-Furqan: 7). Dan mereka berkata: “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?”. (Az-Zukhruf: 31). Termasuk dalam hal ini juga adalah penentangan terhadap para pembawa perubahan dan manhaj-manhaj mereka. Mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Az-Zukhruf: 22). Mereka mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri”. (Al-A’raf: 82). (An-Naml: 56)

Demikianlah setiap pemilik manhaj perbaikan (reformasi), termasuk di antara mereka adalah Al-Ikhwan dan seluruh gerakan Islam dan pembaharuan.

Jadi, kritik dan penentangan kepada mereka adalah kemestian, tidak bisa tidak dan tidak dapat dipisahkan darinya.

Dengan adanya kritik, berbagai pemikiran menjadi berbeda. Serangan kelompok tendensius terhadap sebuah fikrah (gagasan) adalah bukti dari keabsahan dan ke-istiqamah-an fikrah ini. Betapa banyak gerakan Islam secara umum, dan Al-Ikhwan secara khusus mengambil pelajaran dari adanya “serangan” dan kritikan kaum tendensius itu, sebab, “jika Allah swt. menghendaki sebuah keutamaan yang tersembunyi agar tersebar luas, maka Dia bukakan peluang untuk keutamaan itu mulut dari orang-orang yang iri”.

Karena kritikan, pergerakan menjadi naik, maju, itqan dan memperbaiki produknya, sebagaimana kata seorang penyair:

Mereka mencelaku, maka aku mengetahui kehinaan ku #

Mereka menyaingi ku, maka aku bersungguh-sungguh dalam meraih nilai-nilai tinggi

Kritik yang diperbolehkan

Tidak diragukan dan tidak diperdebatkan lagi bahwa kemestian kritik tidak berarti diperbolehkan secara mutlak.

Kritik yang diperbolehkan adalah kritik membangun yang berkenaan dengan hal-hal umum dan bukan hal-hal khusus (privacy), policy umum dan bukan lembaga atau perseorangan.

Dan inilah manhaj Islam yang melarang untuk mencari-cari aurat (aib, kesalahan), sebab, siapa saja yang mencari-cari aurat orang lain, niscaya Allah swt. akan mencari-cari auratnya, dan hampir saja membuka kedoknya.

Dan inilah yang oleh Imam Al-Banna dijadikan syiar umum dan satu dari sekian banyak prinsip-prinsip Al-Ikhwan saat beliau melarang “melukai” lembaga dan perseorangan. Dan sikap beliau saat mengkritik buku DR. Toha Husain adalah bukti paling kuat dalam hal ini.

Dan inilah yang didorong oleh Al-Qur’an: “dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …” (An-Nahl: 125)

Al-Qur’an juga mendorong kita untuk bertutur kata yang terbaik. Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka …”. (Al-Isra’: 53)

Al-Qur’an melarang berkata-kata kotor, sebab Rasulullah saw. bersabda: “Bukan seorang muslim orang yang suka “menusuk”, melaknat, berkata kotor dan hina”.

Mengkritik perilaku perseorangan atau kelompok diperbolehkan dengan tanpa memberi isyarat kepada nama atau posisi, kecuali jika ia adalah publik figur yang memanfaatkan posisinya untuk berbuat kotor dan kerusakan. Ia lakukan perbuatannya itu secara terbuka di hadapan publik dan berbangga dengannya. Saat inilah tepat padanya hadits Nabi saw.: “Bongkar lah orang yang fajir itu sehingga dijauhi oleh manusia dan tidak diikutinya …”. (hadits daif). Padahal, dalam Islam, pada asalnya, tentang masalah ini adalah kewajiban untuk menutupi aib dan aurat, dan Allah swt. itu Zat yang Maha menutupi, memberi tempo, menutupi dan tidak membuka aib. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa yang telah Engkau tutupi, dan tutupi lah aib-aib yang tidak diketahui oleh manusia dan Engkau ketahui”

Peluang Kritik

Pada asalnya –sebagaimana kami nyatakan di depan- adalah kewajiban kita untuk menutup dan menahan mulut (untuk tidak berbicara). “Tahanlah mulutmu, hendaklah rumahmu menampung mu, dan tangisi lah kesalahanmu” (hadits shahih)

Dan tidak semua yang diketahui diucapkan. Juga, setiap posisi ada perkataan khas untuknya.

Di sini tampak jelas batasan dan adab amar ma’ruf nahi munkar.

Sesuatu yang diucapkan oleh seorang ayah kepada seorang anak berbeda dengan sesuatu yang diucapkan anak kepada bapak. Demikian halnya ucapan seorang anak yang lebih muda kepada yang lebih tua. Juga ucapan seorang pegawai kepada atasannya berbeda dengan ucapan seorang pegawai kepada sesamanya, demikianlah seterusnya.

Pada suatu hari, ada seorang ulama berkata kasar kepada Al-Hajjaj (40 – 95 H = 660 – 714 M) saat berbicara dan memberi nasihat kepadanya. Maka Al-Hajjaj memberi pelajaran kepadanya dengan pelajaran yang tidak akan terlupakan. Ia berkata: “Wahai sang alim, sungguh Allah swt. telah mengutus seseorang yang lebih bertaqwa daripadamu kepada orang yang lebih jahat dariku, Allah swt. telah mengutus nabi Musa as. kepada Firaun, lalu Allah swt. berfirman kepada nabi Musa: “Katakan kepadanya [Firaun] perkataan yang lembut, supaya dia ingat dan takut”. (Thaha: 44)

Tidak dibenarkan bagi siapa saja yang mempunyai mimbar (forum, majelis, dan sebagainya) untuk mengatakan apa saja yang ia kehendaki, sebab, sebuah kosa kata adalah amanah dan tanggung jawab, dan tidak ada seorang penulis pun kecuali akan binasa, sementara apa yang ditorehkan oleh kedua tangannya akan tetap ada sepanjang kehidupan, oleh karena itu, janganlah engkau menuliskan dengan kedua tanganmu selain tulisan yang kamu akan senang melihatnya pada hari kiamat.

Iklim atau Suasana Kritik

Seorang muslim hendaklah awas terhadap zaman dan tempatnya berada, memahami dengan baik apa yang terjadi di sekelilingnya, supaya kalimat-kalimatnya tidak disalahgunakan, sebagaimana ucapan sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib kepada kaum Khawarij: “Kalimat kebenaran tetapi yang dimaksud darinya adalah kebatilan”.

Rasulullah saw. pernah diserang harga diri dan kehormatannya, dan Allah swt. membongkar hakikat dari serangan itu, membuka kartu sang pembuat isu dan sang pemilik tendensi, namun pembukaan hakikat itu terjadi setelah berlalu masa 19 atau 20 tahun. Artinya setelah hukum dan syariat sempurna. Hanya saja, iklim atau suasana umum yang penuh dengan orang-orang munafik, para pemilik tendensi khusus, penurut hawa nafsu dan mereka-mereka yang berjiwa lemah dari kalangan kaum muslimin belum tepat. “dan di antara kamu ada telinga-telinga bagi mereka” (At-Taubah: 47). Maka beliau saw. bersabda dengan sabda yang sangat populer: “Adakah kamu menginginkan agar sesama orang Arab saling berkata: ‘Muhammad membunuh sahabatnya’”!

Hal ini terjadi saat beliau diminta untuk menegakkan hukuman atas pembuat dan pengobral isu.

Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah menjadi kewajiban bagi semua orang yang memiliki kemampuan menulis dan menyampaikan pendapat untuk memahami bahwa

1. Hendaklah ia tidak berhenti dari mengkritik, sebab kritik itu kehidupan bagi fikrah (gagasan), ke-istiqamah an manhaj, dengannya yang buruk menjadi jelas di antara yang baik, berbagai keutamaan menjadi tersebar, dan berbagai keburukan dapat dikenali

2. Namun, jangan menyerang pribadi atau lembaga, juga jangan membuka hal-hal privacy terlebih lagi melanggarnya

3. Hendaklah berupaya semaksimal mungkin untuk komitmen dengan batasan, adab dan hal-hal yang diperbolehkan dalam mengkritik. Juga hendaklah memperhatikan iklim atau suasana umum yang ada di sekelilingnya, agar pendapatnya tidak disalahgunakan, apatah lagi dimaknai dengan selain dari yang dimaksud oleh sang pemilik pendapat, dan agar kritikan nya tidak dimanfaatkan oleh pemilik tendensi tertentu atau oleh penurut hawa nafsu

Komentar Ar-Ridha atas Makalah

Saya berpendapat: hendaklah seorang pengeritik selalu menempatkan ucapan Ibnu Taimiyah ini selalu ada di hadapan kedua matanya

Agar ia menyuguhkan kritikan demi memperbaiki, dan agar dapat menghindari aib dan sisi-sisi negatif … jadi bukan mengkritik dengan tujuan mengkritik

Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagian orang, selalu terlihat olehmu sebagai pengeritik, ia melupakan berbagai kebajikan berbagai kelompok dan berbagai jenis, ia hanya mengingat sisi-sisi keburukannya saja. Orang seperti ini seperti lalat, ia tinggalkan tempat yang sehat dan tidak sakit, dan mencolok pada luka dan tempat yang sakit. Hal ini pertanda jiwa yang buruk dan pribadi yang rusak

Kemudian, ketahuilah wahai saudaraku bahwa kata kritik mempunyai dua kemungkinan makna, yaitu:

a. Menampakkan berbagai sisi positif untuk kita kembangkan, dan

b. Menampakkan berbagai sisi negatif untuk kita hindari dan kita minimalisir …

Dan inilah yang disebut dengan istilah kritik membangun (konstruktif)

Kemudian … sungguh mengherankan seorang muslim yang sebelum mempelajari satu masalah agama sudah mempelajari bagaimana mencaci saudaranya sesama muslim!

Kemudian ia menginginkan keselamatan dan keberuntungan … kapan dia akan beruntung?

Kapan beruntung jika seseorang “melukai” suatu kaum, padahal bisa jadi mereka yang “dilukai” itu telah menempati tempatnya di surga semenjak beberapa tahun yang lalu?

Kapan beruntung seseorang yang memuaskan dada orang-orang kafir melalui cercaan yang ia tujukan kepada saudaranya sesama kaum muslimin?

Hanya saja, pada asalnya, kritik itu hendaklah membangun dan ikhlas semata karena Allah … supaya sebuah fikrah (gagasan) atau proyek yang menjadi sasaran kritik itu menjadi sempurna, dan dapat disuguhkan kepada publik dalam bentuknya yang paling sempurna

Komentar Raji al-Jannah Terhadap Makalah

Kritik membangun adalah hak asasi setiap aktivis pergerakan, tidak boleh ditinggalkan atau dibuat sembrono, sebagaimana kita juga berkewajiban untuk melatih diri kita terhadap kritikan itu … sehingga kita bisa menjadi sandaran bagi qiyadah kita dan penolong baginya. Sementara itu mata kita yang lain kita pergunakan untuk melihat keputusan qiyadah yang telah dibuat dan untuk menimbang berbagai urusan … kita berkewajiban untuk mendorong sang pengeritik yang bertujuan meluruskan, dan bukan yang bertujuan tasykik (menanamkan keraguan), kita dukung kritik yang bermaksud membetulkan, dan bukan yang bertujuan “melukai”, termasuk walaupun kita berbeda pendapat dalam masalah cara menyampaikannya, dan tampak jelas salahnya. Hanya saja, kita wajib mensyukuri, serta meminta kepadanya agar berkali-kali membolak-balik berbagai urusan supaya sampai kepada titik terdekat dari kebenaran …

Kritik bukanlah sebuah tujuan, dan tidak harus menjadi tujuan. Agar kritik bersifat membangun, terlebih dahulu harus ada satu langkah penting, yaitu: a. tabayyun (mencari titik terang), b. istidhah ar-ru’yah (meminta penjelasan tentang sebuah cara pandang), c. at-ta’arruf ‘ala mulabasat ittikhadz al-qarar mahall an-naqdi wa bawa’itsihi wa asbabihi (berupaya untuk mengetahui berbagai situasi dan kondisi keluarnya sebuah keputusan yang menjadi sasaran kritik, motivasi dan sebab-sebabnya).

Saat memenuhi prasyarat inilah kritik itu dapat diterima yang mampu menentukan posisi penyakit dengan tepat, dan memberikan deskripsi terapi secara professional … dan kita berkewajiban untuk segera membetulkan jalur yang kita tempuh serta meluruskan tujuan yang hendak kita tuju.

Sebagian saudara kita yang mulia, saking cinta dan kasmaran-nya kepada dakwah dan pergerakan, dan karena saking banyaknya berhadapan dengan berbagai serangan kritik yang destruktif, at-tasykik al-mutawashil (upaya penciptaan keraguan yang berkesinambungan), serta at-tajrih al-ladzi la yatawaqqaf (upaya “melukai” yang tiada henti), mereka terkena satu penyakit yang disebut hassasiyyah an-naqd (sensitifitas kritik), yaitu kepekaan yang menempatkan para pemberi nasihat bersama dengan orang-orang yang benci, menempatkan para kritikus yang membangun sejajar dengan para pengobral syubhat dan orang-orang yang gemar memperburuk citra, mereka itu menempatkan semuanya dalam satu keranjang, padahal seharusnya harus dipilah dan dibedakan. Dan pada firman Allah swt yang artinya: “Tidaklah mereka [ahli kitab] itu sama” (Ali Imran: 113) terdapat keteladanan dan contoh ideal …

Kita berkewajiban untuk melepaskan diri dari penyakit ini, dan menerima kritik – selama bersifat konstruktif- dengan dada lapang, serta mencari hikmah di mana pun berada, sebab ia adalah barang yang hilang dari kita, dan dia itu adalah sesuatu yang kita kehendaki.

Termasuk perkara penting dan mesti bagi mereka yang telah rela untuk ber-’amal jama’i adalah tidak ada lagi pendapat perseorangan setelah adanya qarar qiyadah … dalam arti, siapa saja yang ber-intima’ (bergabung) kepada sebuah jamaah hendaklah komitmen dengan berbagai qarar politik (policy) serta arah kebijakan yang dibuat oleh qiyadah … dan bukan hanya komitmen dengan qarar saja, namun, ia jadikan qarar itu sebagai milik dirinya dan ia membelanya … sebab, syura itu bersifat mengikat, dan ragam pendapat, setelah syura menjadi satu pendapat saja … jika seseorang melihat adanya kekurangan atau kesalahan dalam qarar yang dibuat; Hendaklah ia mencari titik kejelasan dan melakukan dan jika berkelanjutan dalam melihat ke tidak benaran qarar, maka ia berkewajiban untuk komitmen dengan ushul tanzhimiyah (pokok-pokok organisasi) dan dhawabith harakiyah (patokan-patokan pergerakan), serta menempuh kanal-kanal syar’i (legal) untuk memperjelas pendapat dan pandangannya … dan tidak ada sesuatu selain kanal-kanal syar’i (legal)

DR. Munir Al-Ghadhban mempunyai pernyataan yang sangat berharga dalam kitabnya yang berbobot: al-Manhaj al-Haraki fi as-Sirah al-Nabawiyah, beliau berkata: “Sering sekali para pemuda suatu jamaah yang bersemangat terdorong untuk melakukan kritik pedas dan tajam kepada qiyadah, di mana qiyadah mempergunakan hikmah dan tuadah (penuh perhitungan) dan menyelesaikan orang-orang yang menyimpang dari barisan dakwah dan orang-orang yang memberontak terhadapnya … akibat kritik pedas dan tajam ini, qiyadah berada dalam posisi di antara dua api; api mereka-mereka yang terlalu bersemangat yang menilai para qiyadah lamban dan meremehkan urusan, dan api para musuh yang selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk menjatuhkan tipu dayanya kepada jamaah. Jadi, para pemuda yang berada dalam barisan jamaah tidak memberikan udzur (alasan) kepada qiyadah dan musuh yang ada di luar pun tidak memberi belas kasihan kepadanya …

Betapa perlunya kita untuk membiarkan adanya kebebasan bagi qiyadah dalam berinteraksi dengan para pemudanya dan bersama para musuhnya, sebab, dia (qiyadah) itu lebih tahu tentang berbagai situasi yang dihadapi olehnya daripada kita, dan di antara hak kita adalah memperjelas pendapat kita, akan tetapi bukan termasuk hak kita untuk memaksakan pendapat yang kita miliki, dan bukan hak kita pula untuk menuduh qiyadah dalam suatu sikap yang diambilnya, sebab itu adalah haknya, dan bagus juga untuk kita ingat dan jangan sampai terlupakan dari pikiran kita bahwa di dalam qiyadah harakah terdapat ilmu dan ulama’ yang menjadikannya memiliki bashirah dalam tindak tanduknya …

0 comments:

Post a Comment

Template by - Abu Syamil